UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM
Selamat Datang Sohib
>
Tampilkan postingan dengan label Spesifikasi Mobil F 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spesifikasi Mobil F 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 November 2012

Suspensi tak selalu bikin nyaman


Suspensi tak selalu bikin nyaman
"Mengendarai mobil F1 memang bisa jadi sensasi tersendiri, namun jangan pernah membayangkan bahwa naik mobil F1 itu senyaman mobil jalan raya"

Salah satu peranti yang menentukan dalam sebuah mobil adalah suspensi, yaitu peranti untuk menahan atau meredam getaran yang diterima mobil akibat kondisi jalan yang beragam. Mobil akan terasa nyaman dikendarai jika suspensinya bisa memberikan peredaman getaran yang optimal sehingga penumpang dalam kabin tidak merasakan getaran akibat jalan yang tidak rata ataupun efek rolling saat mobil menikung. Tak heran bila kemudian pada mobil komersial, kenyamanan berkendara sering dihubungkan dengan kualitas suspensinya. Namun pada mobil Formula 1, kenyamanan penumpang sama sekali tidak menjadi perhatian para perancang suspensi. Fungsi utama suspensi pada mobil F1 adalah membuat keempat ban selalu bisa menapak ke aspal semaksimal mungkin saat jalanan tidak rata ataupun saat mobil sedang menikung tajam.

Walau fungsinya agak berbeda, suspensi pada mobil komersial dan mobil F1 sama-sama terdiri dari dua komponen penting yaitu pegas dan damper. Bedanya, pegas dan damper pada mobil F1 jauh lebih keras dibanding pegas dan damper pada mobil biasa. Belakangan, pegas mobil F1 pun pun berubah bentuk menjadi torsion bar (batang puntir), bukan lagi per keong seperti pada mobil jalan raya. Gaya pada roda mobil F1 akan diterima oleh push rod (batang tekan) yang kemudian akan memutar semacam engsel dan akhirnya memuntir torsion-bar. Gaya reaksi dari torsion-bar akibat puntiran ini yang dimanfaatkan sebagai efek pegas. Torsion bar mempunyai keunggulan dibanding pegas jenis per keong karena lebih ringan, lebih kecil, dan tidak mengalami bending atau lendutan saat ditekan. Kekakuan dari torsion bar bisa divariasikan melalui dimensinya.

Jauh sebelum sekarang, mobil F1 di era 1950-an masih mempunyai suspensi yang amat sederhana dan mirip dengan suspensi mobil pada umumnya, yaitu berupa damper yang dililit pegas per keong. Suspensi diletakkan secara diagonal dari wishbone bawah pada roda ke moncong mobil bagian atas. Konstruksi ini cukup kokoh dan membantu wishbone bawah dalam mengatasi beban tekan akibat gaya pada roda. Namun konstruksi ini punya kelemahan penting berupa hambatan angin pada suspensi (terutama suspensi roda depan). Di awal 1960-an posisi suspensi dipindahkan ke bagian dalam -atau sengaja ditutupi- moncong mobil dan posisinya digantikan oleh push rod yang langsung menerima beban dari roda. Selanjutnya push rod akan meneruskan gaya tekan tersebut kepada suspensi melalui rocker-arm atau engsel. Konstruksi ini secara umum dianggap cukup berhasil karena mampu mengurangi drag-force secara signifikan dan secara prinsip tetap dipakai sampai sekarang.

Di tahun 1974, Gordon Murray sempat mengujicobakan pull rod pada sistem suspensi Brabham BT44 nya. Prinsip kerja pull rod adalah kebalikan dari push rod karena posisinya juga saling berkebalikan. Pull rod menghubungkan wishbone atas pada roda dengan sistem suspensi yang terletak di bagian lantai dari moncong mobil. Kelebihan pull rod dibanding push rod adalah posisi suspensi bisa diletakkan di bagian bawah sehingga merendahkan titik berat mobil. Namun demikian sistem ini punya kelemahan yang baru disadari kemudian yaitu batang pull rod justru memberikan tambahan gaya tekan pada wishbone atas. Akibatnya wishbone atas menjadi lemah dan harus diperkuat dengan memperbesar dimensi wishbone atas. Namun demikian, konstruksi ini sempat dicoba lagi oleh Tim Minardi di musim 2000 demi mengejar titik berat yang rendah meski tak dilanjutkan di musim berikutnya.

Agar berfungsi secara optimal, setingan pegas dan damper harus pas dan sesuai dengan kebutuhan. Secara umum suspensi pada mobil F1 dibuat amat kaku karena walaupun bobot total mobil dan pembalapnya hanya 600 kg, akibat downforce pada kecepatan 300 km/j, beban yang dipikul keempat suspensi menjadi hampir 3 ton atau dua kali lebih berat daripada mobil biasa. Jika suspensi tidak cukup kaku, maka mobil akan 'terbenam' dan menghantam aspal karena ride height atau jarak lantai mobil dengan aspal hanya sedikit lebih tinggi daripada 5 cm saja.

Namun demikian, jika suspensi dibuat terlalu kaku, tentu tugasnya untuk membuat ban selalu menapak aspal menjadi tidak optimal dan ketahanan mobil terhadap efek rolling menjadi berkurang. Untuk itu, kemudian insinyur khusus suspensi menciptakan damper ketiga yang diletakkan di tengah dan terhubung pada antiroll-bar. Antiroll-bar sendiri adalah batang yang menghubungkan suspensi kiri dan kanan dan bertugas mentransfer sebagian gaya yang diterima roda kanan ke roda kiri (atau sebaliknya) sehingga efek rolling dapat dikurangi. Dengan adanya damper ketiga itu, maka kekakuan dapat terjaga dan efek rolling tetap dapat diredam.

Kekakuan suspensi mobil F1 juga harus menyesuaikan dengan jenis sirkuit. Pada sirkuit yang bumpy dan banyak chicane, para teknisi akan mengeset suspensi menjadi lebih soft. Konsekuensinya, ride height harus sedikit ditambah dan steering-control menjadi kurang responsif. Sebaliknya, pada sirkuit yang banyak trek lurusnya, suspensi akan dibuat lebih kaku sehingga titik berat mobil bisa lebih rendah karena ride height bisa dikurangi, dan steering-control pun menjadi lebih responsif. Namun kerugiannya adalah mobil menjadi rawan terhadap rolling dan boros pemakaian ban.

Berbeda dengan pegas yang berfungsi meredam getaran dan membuat ban selalu menapak aspal, damper justru berfungsi untuk mencegah pegas bekerja terlalu lama. Tanpa damper, pegas akan membuat mobil berayun tanpa henti sehingga justru akan membuat ban kehilangan sebagian grip. Cara kerja damper dalam memberikan peredaman adalah dengan memberikan tahanan viskositas fluida pada piston yang bergerak di dalam tabung. Saat piston bergerak sebagian fluida bergerak dari bagian bawah piston ke bagian atasnya melalui katup. Pada sedan-sedan mewah modern, bukaan katup ini bisa dikontrol oleh komputer sehingga kekerasan damper bisa disesuaikan dengan beban yang dialami. Suspensi dengan damper seperti ini disebut suspensi aktif karena karakternya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi jalan. Pada F1, suspensi jenis ini pernah dipakai di awal 1990-an, namun kemudian dilarang karena hanya menguntungkan tim-tim kaya sehingga persaingan menjadi tidak berimbang.

Setingan damper harus menyesuaikan dengan kekakuan pegas. Kekuatan damper yang ideal adalah jika damper mampu membatasi ayunan yang terjadi menjadi satu siklus saja (naik dan turun satu kali). Damper yang terlalu lunak akan mengakibatkan mobil berayun berulang kali sedangkan damper yang terlalu keras akan menghambat kerja pegas dalam memberikan peredaman getaran.

Sampai saat ini teknologi suspensi mobil F1 terus berkembang pesat karena keunggulan di sisi ini cukup membuat jarak yang lumayan terhadap tim-tim kompetitor. Ferrrari 2003-GA bahkan telah menerapkan teknologi damper jenis baru yang disebut rotational damper. Damper baru di mobil Kuda Jingkrak ini sedikit lebih ringan dan jauh lebih kecil sehingga lebih sedikit memproduksi panas akibat gesekan.

Namun tetap saja jangan bayangkan naik mobil sang juara dunia itu senyaman mobil yang Anda tumpangi sehari-hari

Sayap yang tak bisa bikin terbang


Sayap yang tak bisa bikin terbang

"Sayap pada pesawat membuat Boeing 737 yang berbobot lebih dari 45 ton mampu mengangkasa. Sementara pada mobil F1, sayap justru membuat mobil yang beratnya cuma 600 kg itu, tetap menjejak di bumi. Mengapa begitu? "

Meski nama -dan bentuknya- sama, sayap di pesawat dan sayap mobil Formula 1 punya fungsi yang berbeda. Pada pesawat, sayap berfungsi untuk menimbulkan daya angkat, sedangkan pada mobil F1 sebaliknya, yaitu untuk menekan mobil agar tetap 'melekat' di lintasan.

Mengingat bobotnya yang ringan -cuma 600 kg termasuk pembalap, mobil Formula 1 amat membutuhkan sayap untuk memberikan downforce (gaya tekan ke bawah) agar ban tetap 'menggigit' aspal. Pada kecepatan lebih dari 200 km/j, sayap-sayap itu bahkan memberikan downforce lebih besar daripada bobot mobilnya sendiri.

Sayap mulai dimanfaatkan mobil-mobil F1 pada era 1960-an. Saat itu bentuknya masih amat sederhana yaitu berupa plat mendatar yang dipasang di bagian belakang mobil dengan sudut tertentu. Namun bentuk sayap terus berubah karena sayap juga memberikan efek negatif berupa hambatan angin (dragforce). Idealnya, tim F1 ingin agar sayap menghasilkan downforce yang besar dengan dragforce sekecil mungkin. Untuk itu orang menciptakan parameter L/D (lift to drag ratio) atau perbandingan gaya angkat (atau gaya tekan jika dalam arah negatif) terhadap gaya hambat angin. Semakin besar L/D, semakin efisien kondisi aerodinamika suatu mobil.

Untuk memaksimalkan nilai L/D, hal-hal yang menjadi faktor timbulnya downforce dan dragforce amat diperhatikan. Dragforce ditimbulkan oleh tiga hal; pertama adalah akibat aliran angin yang terpisahkan oleh leading-edge (bagian sayap terdepan yang menabrak angin pertama kali). Faktor kedua, gesekan angin pada permukaan sayap atau sering disebut friction-drag. Faktor terakhir adalah akibat terciptanya kondisi 'vakum' di belakang sayap yang disebut induced-drag.

Sementara downforce diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, momentum yang akibat 'tabrakan' angin pada permukaan atas sayap. 'Tabrakan' ini timbul karena sayap membentuk sudut terhadap arah angin. Dalam ilmu mekanika sudut ini disebut angle-of-attack atau sudut serang. Semakin besar sudut serang, semakin besar pula downforce yang ditimbulkan. Faktor kedua adalah fenomena fisika yang dirumuskan oleh Persamaan Bernoulli. Menurut Bernoulli, semakin cepat aliran angin, semakin kecil tekanan statis yang ditimbulkannya. Dengan memanfaatkan fenomena itu, insinyur F1 mendesain penampang sayap dengan permukaan bagian bawah lebih melengkung daripada permukaan atasnya. Dengan demikian aliran angin di bawah sayap harus menempuh perjalanan lebih panjang untuk mencapai trailing-edge (bagian ekor dari sayap) dibanding aliran angin di atas sayap. Kondisi itu menyebabkan angin di bawah sayap mengalir lebih cepat sehingga tekanan-statisnya lebih rendah daripada tekanan di permukaan bagian atas. Akibatnya, sayap akan 'terhisap' ke bawah dan downforce pun terjadi.

Dalam kondisi ekstrem, kecepatan aliran angin di bawah sayap bisa dibuat lebih cepat lagi jika sayap dibuat sedekat mungkin dengan permukaan aspal (ini hanya bisa dilakukan pada sayap depan). Pada keadaan seperti itu, aliran angin menjadi lebih cepat karena luas penampang aliran menjadi sempit. Downforce tambahan karena efek ini disebut ground-effect. Downforce akibat ground-effect mempunyai kelebihan dibanding downforce pada sayap biasa karena dragforce yang ditimbulkannya amat kecil. Namun demikian mobil F1 dewasa ini tidak leluasa memanfaatkan ground-effect karena FIA membatasi jarak minimum sayap depan terhadap aspal serta keharusan mobil memiliki permukaan bawah yang rata.

Dengan memahami faktor-faktor di atas, dragforce dapat diminimalkan dengan cara membuat permukaan sayap semulus mungkin serta membuat bentuk penampang sayap yang aerodinamis. Sementara itu, peningkatan downforce secara mudah dapat dilakukan dengan menambah sudut serang, tapi harus penuh perhitungan. Sebab selain menambah dragforce, sudut serang yang berlebihan juga menimbulkan kondisi stall yaitu hilangnya downforce secara mendadak dan meningkatnya dragforce secara signifikan.

Kondisi itu disebabkan adanya pemisahan aliran angin di bawah sayap. Berbeda pada pesawat terbang di mana stall terjadi akibat perubahan sudut serang, pada mobil F1, stall dapat terjadi saat mobil melaju amat kencang. Karena pada keadaan tersebut kemungkinan terjadinya pemisahan aliran angin semakin besar. Risiko stall ini dapat diminimalkan dengan pemanfaatan elemen sayap yang berlapis. Semakin banyak elemen sayap, semakin besar sudut serang sayap yang dapat dimanfaatkan tanpa khawatir terjadi stall pada kecepatan tinggi. Namun demikian, sejak musim 2004 ini, FIA membatasi jumlah elemen sayap belakang menjadi maksimum 2 saja.

Bagian paling sensitif dari sayap adalah trailing-edge (bagian ekor sayap). Downforce dapat berubah secara tajam hanya dengan melakukan sedikit perubahan pada bagian ini. Itulah sebabnya sayap pesawat memanfaatkan flaps (elemen di bagian ekor dari sayap yang dapat memanjang dan memendek sesuai kebutuhan). Pada mobil F1, penggunaan flaps yang fleksibel seperti itu tak mungkin dilakukan karena regulasi FIA. Namun demikian, bagian ekor sayap tetap merupakan bagian yang paling banyak diutak-atik oleh para insinyur F1. Contohnya adalah penggunaan bilah kecil vertikal pada sayap depan dan Bilah Gurney pada sayap belakang. Dengan tambahan elemen kecil itu, aliran angin di bagian bawah sayap terbukti lebih efektif memberikan tekanan rendah untuk manambah downforce.

Kinerja sayap juga dipengaruhi oleh dimensinya. Satu besaran penting dalam mendesain sayap adalah Aspect-Ratio (AR) yaitu perbandingan antara span (panjang sayap) dengan chord (lebar sayap). Kondisi yang paling ideal adalah span dibuat amat panjang dan chord dibuat sempit atau dengan kata lain AR harus sebesar mungkin. AR yang besar mengurangi kemungkinan terjadinya tip-vortices atau kondisi di mana aliran di permukaan atas mengalir ke bawah melalui sisi-sisi sayap (tips). Mobil F1 yang memiliki AR amat terbatas (karena lebar maksimum mobil dibatasi oleh regulasi FIA) mengatasi masalah ini dengan memanfaatkan end-plates atau plat vertikal yang terpasang di kiri dan kanan sayap. Dengan end-plate ini, efektifitas sayap meningkat hingga menyamai performa sayap yang 9 kali lebih panjang. Dimensi lainya adalah tebal sayap. Semakin tipis sayap, dragforce akan berkurang tapi downforce juga menurun dan kerawanan terhadap stall meningkat.

Posisi sayap relatif terhadap mobil juga penting. Dari berbagai eksperimen, sayap yang diletakkan di antara kedua sumbu roda terbukti tidak efektif. Itulah sebabnya sayap depan diletakkan sejauh mungkin di depan roda depan dan sayap belakang diletakkan sejauh mungkin di belakang roda belakang. Di antara dua sumbu roda (depan dan belakang) memang masih sering terlihat tambahan elemen-elemen sayap kecil. Namun demikian, elemen-elemen itu lebih berfungsi sebagai 'pengarah-angin' daripada sebagai sayap aktif yang menyumbangkan

Mobil pun punya karakter


Mobil pun punya karakter

"Seperti manusia, mobil F1 memiliki karakter yang tak bisa dimengerti oleh semua orang. Dan cuma pembalap hebat yang bisa memahami karakter mobil sambil memaksimalkannya"

Saat tes terhadap mobil baru, tiga parameter yang selalu menyita perhatian si perancang mobil adalah power, grip, dan karakteristik mobil. Pemecahan masalah pada karakteristik mobil adalah yang paling rumit di antara ketiganya, sebab karakteristik mobil ditentukan oleh unsur-unsur dinamika kendaraan yang berasal dari banyak faktor saat mobil masih ada dalam tahapan desain.

Dalam dinamika, karakteristik mobil dipengaruhi oleh tiga macam gaya yaitu gaya pada arah longitudinal akibat torsi dari mesin yang disalurkan oleh ban pada saat mobil melaju di jalur lurus, gaya lateral dari samping yang timbul akibat gaya sentrifugal saat mobil berubah arah, dan gaya vertikal dari atas/bawah yang ditimbulkan oleh gaya berat mobil itu sendiri, downforce akibat efek aerodinamika, atau oleh permukaan jalan yang tidak rata. Dari tiga jenis gaya itu, mobil akan mengalami gerakan lurus maju, ke samping, maupun naik turun, juga gerakan berputar pada tiga sumbu yaitu sumbu vertikal yang membuat hidung mobil bergerak ke kiri/kanan (yaw), sumbu horisontal-longitudinal yang membuat mobil berguling (roll), dan sumbu horisontal-lateral yang membuat mobil mendongak/menukik (pitch). Dari semua jenis gerakan di atas, hanya gerakan maju dan yawing (asal masih dalam batas yang dapat terkontrol) yang tidak bersifat negatif terhadap mobil. Yawing yang berlebihan -atau understeer- tidak diinginkan, sebab akan membuat mobil tidak stabil.

Sensitifitas mobil terhadap semua jenis gerakan di atas dipengaruhi secara dominan oleh tiga hal, yaitu: (1) Distribusi berat mobil, (2) distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution) dan (3) distribusi downforce dan grip ban

Distribusi berat mobil sering dikacaukan dengan pengertian terhadap posisi titik berat (center of gravity/COG). Padahal ada perbedaan. COG memang ditentukan oleh distribusi berat mobil. Tapi dua mobil yang mempunyai titik berat tepat di titik yang sama belum tentu punya distribusi berat dan karakterisitik dinamika yang sama. Secara ekstrem perbedaan itu bisa dianalogikan dengan membandingkan bola besi 1 kg dengan dumbel 1 kg. Keduanya punya berat yang sama dan posisi titik beratnya pun sama-sama di tengah. Namun memutar (bukan menggelindingkan) dumbel akan terasa lebih berat daripada memutar bola. Ini karena distribusi berat dumbel ada pada ujung-ujungnya. Fenomena dumbel ini tidak diinginkan pada mobil F1 sebab mobil F1 harus lincah dan mudah berubah arah secara cepat. Karena itu, distribusi berat mobil F1 sebisa mungkin harus terkumpul di tengah. Rata-rata, mobil F1 dewasa ini mempunyai frekuensi natural yawing (yawing natural frequency) hampir sebesar 4 Hz atau berarti mampu melibas empat chicane dalam sedetik. Bandingkan dengan mobil F1 zaman Juan Manuel Fangio saat mesin mobil masih diletakkan di depan. Saat itu mobil F1 hanya mempunyai kemampuan yawing-rate tak lebih dari 1 Hz.

Distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution) adalah perbandingan kekakuan antara sumbu roda depan dan sumbu roda belakang. Selanjutnya distribusi ini mempengaruhi distribusi beban lateral di antara keempat roda. Jika kekakuan rolling cenderung pada poros belakang, maka saat berbelok ada kemungkinan salah satu roda depan akan kekurangan grip dan understeer adalah akibatnya. Sebaliknya jika kekakuan rolling cenderung ke depan maka mobil cenderung oversteer. Kondisi ideal adalah jika kedua sumbu roda dibuat amat kaku. Namun demikian hal ini sangat dibatasi oleh kekakuan rangka mobil, komponen-komponen di bagian sambungan suspensi dan juga kekakuan vertikal ban (kekerasan ban).

Distribusi downforce dihasilkan dengan memvariasikan setingan sudut sayap depan dan belakang. Kekurangan downforce pada kedua roda depan akan mengakibatkan mobil rawan terhadap understeering. Sebaliknya, kekurangan downforce pada poros belakang akan membuat mobil mudah untuk oversteer. Selama kondisinya tidak parah, understeer lebih mudah untuk diatasi oleh pembalap. Namun demikian, pembalap dengan skill yang baik juga dapat mengatasi oversteer.

Secara umum penyebab oversteer ada dua. Pertama adalah akibat beban pengereman yang terlalu besar di belakang. Hal ini dapat dikoreksi dengan sedikit menekan pedal gas dan mengoreksi sudut belokan dengan memutar setir. Kedua, adalah akibat kelebihan torsi pada roda belakang saat akselerasi. Untuk mengatasinya cukup mudah yaitu dengan sedikit mengangkat kaki dari pedal gas.

Secara teknis, mengurangi karakter negatif mobil tidaklah mudah. Selain karena batasan-batasan FIA dalam hal dimensi dan safety, beberapa usaha untuk mengurangi efek negatif suatu kondisi justru akan menambah efek negatif di sisi lain. Misalnya, efek rolling bisa dikurangi jika titik berat mobil dibuat sedekat mungkin dengan garis gaya untuk membuat mobil berbelok. Ini artinya mobil akan semakin kaku terhadap efek rolling jika titik beratnya sedekat mungkin dengan poros depan. Tapi, ini juga akan mengurangi yawing natural frequency, sehingga mobil menjadi tidak lincah dan lamban merespon keinginan pembalap untuk berbelok. Selain itu, grip ban belakang juga berkurang.

Karena itu, para perancang mobil harus memilih desain yang optimum agar didapat performa mobil yang terbaik. Satu-satunya usaha agar tidak menimbulkan efek negatif di sisi yang lain adalah membuat mobil seringan mungkin. Dengan mobil yang ringan, maka ballast (beban tambahan untuk memenuhi persyaratan berat minimum mobil) untuk pengaturan titik berat mobil bisa lebih fleksibel -tergantung jenis sirkuit yang akan dilalui. Di sirkuit yang punya banyak chicane, misalnya, biasanya titik berat digeser agak ke belakang dan rolling-stiffness untuk poros depan ditambah.

Yang menarik adalah karakteristik mobil ini bisa berubah dengan cepat pada saat lomba. Beberapa sirkuit memberikan respon yang berbeda pada ban depan dan belakang. Misalnya di Hockenheim (yang baru). Di sana, roda belakang (terutama yang kiri) akan lebih cepat botak. Michael Schumacher di tahun 2003 dan Kimi Raikonen di tahun 2002 adalah dua pembalap yang telah merasakan 'keanehan' ini. Keduanya mengalami pecah ban belakang kiri di akhir balapan. 'Termakannya' ban belakang kiri di Hockenheim disebabkan sirkuit itu banyak dihiasi trek lurus panjang yang didahului oleh tikungan lambat ke kanan. Saat melalui tikungan itu, pembalap akan menggeber habis mobilnya untuk mendapatkan speed yang bagus saat melibas trek lurus. Akibatnya ban belakang kiri menjadi ban yang paling tersiksa karena harus mengantarkan torsi mesin lebih besar daripada ban kanan belakang.

Pada akhirnya, performa maksimal sebuah mobil -yang memiliki karakter tertentu- tergantung dari sang pemakai alias pembalapnya. Dan respon pembalap terhadap perubahan karakteristik mobilnya lah yang membedakan pembalap dengan skill tinggi dengan pembalap biasa-biasa saja. Pembalap hebat akan dengan mudah mengenali degradasi kemampuan mobilnya dan tetap melajukan mobilnya pada hingga limit tanpa melakukan kesalahan. Kemampuan pembalap ini jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa satu pembalap sering DNF sementara pembalap lainnya tidak

Teknologi-Teknologi Terlarang


Teknologi-Teknologi Terlarang
Mobil F1 modern mampu melesat 100 km/j dari kondisi diam hanya dalam waktu sekitar 2 detik. Ini kemampuan luarbiasa yang tidak akan dapat disamai oleh mobil sport jenis apapun. Namun ternyata tidak semua teknologi pada mobil F1 merupakan teknologi yang tercanggih di dunia otomotif. Beberapa sistem dan komponen mobil F1 justru kalah canggih dibanding mobil biasa di jalanan. Mengapa demikian?

Jawabannya adalah regulasi FIA. FIA sebagai ”wasit” bagi balapan F1 amat rajin membuat regulasi untuk membatasi kecepatan mobil F1. Sebab selain karena keselamatan pembalap, pembatasan kecepatan juga terkait dengan alasan nonteknis yaitu membuat balapan lebih menarik ditonton. Sebab makin cepat mobil-mobil balap berlaga di sirkuit, makin sedikit aksi saling susul yang akan terjadi. Ini karena waktu tempuh mobil-mobil itu di jalur lurus semakin singkat sehingga pembalap yang akan menyusul mempunyai waktu yang makin sempit untuk membuat perbedaan kecepatan dengan pembalap di depannya. Di lain pihak, akselerasi pada kecepatan tinggi justru makin sulit dilakukan karena hambatan angin yang makin besar.

Dalam sejarahnya, perubahan regulasi FIA hampir tiap tahun dilakukan. Ini karena kemajuan teknologi ternyata jauh lebih pesat daripada pembatasan yang diberlakukan. Berikut beberapa teknologi inovatif yang pernah dimanfaatkan oleh mobil F1 namun kemudian diharamkan.

Penggunaan turbin gas sebagai penggerak menggantikan motor bakar torak. Sebagai salah satu jenis penggerak tertua, motor bakar punya banyak kelemahan dibandingkan turbin gas yang lebih belakangan ditemukan. Turbin gas menghasilkan power lebih tinggi dengan bobot yang lebih ringan daripada motor bakar atau dengan kata lain turbin gas punya power-weight ratio yang lebih baik. Kelebihan turbin yang lain adalah putarannya sangat cepat, sampai 60 ribu rpm, bandingkan dengan engine F1 modern yang ”hanya” mampu berputar 19 ribu rpm. Turbin gas juga lebih sedikit memproduksi getaran karena tidak ada komponen yang bergerak translasi (maju-mundur) seperti halnya motor bakar. Kerena itu, secara umum lifetime turbin gas lebih panjang daripada motor bakar. FIA melarang penggunaan turbin ini setelah tim Lotus mengujicobakan mobil T56B mereka yang bertenaga turbin gas merk Pratt & Whitney di tahun 1971. Larangan FIA ini sebetulnya ”mubazir” karena toh tim Lotus membuktikan bahwa penggunaan turbin gas sebagai penggerak mobil ini sebenarnya tidak cocok untuk F1. Kelemahan yang dirasakan antara lain adalah turbin gas lambat merespon perubahan bukaan gas dari kaki pembalap sehingga sulit melahap chicane serta tidak adanya efek engine-brake yang sangat dibutuhkan mobil F1.

Turbocharger/supercharger adalah piranti yang amat sering dimanfaatkan mobil balap. Di F1, alat ini justru dilarang walau pernah juga diperbolehkan. Di tahun 1966 FIA untuk pertamakalinya membolehkan pemakaian turbocharger. Pembolehan ini dilatarbelakangi oleh perubahan batasan volume engine dari 1500cc menjadi 3000cc. Saat itu beberapa tim kecil memprotes regulasi itu karena mereka belum mampu membuat engine baru bervolume 3000cc. Solusinya, FIA membolehkan turbocharger digunakan khusus untuk engine 1500cc agar mampu bersaing dengan engine 3000cc. Uniknya, walau telah dibolehkan, tidak satupun tim yang mengambil opsi turbo ini sebab mereka berpendapat turbo-engine 1500cc masih belum bisa menandingi power dari normally-aspirated-engine 3000cc. Renault adalah tim yang pertamakali mengambil tantangan ini jauh setelah regulasi itu dikeluarkan yaitu di tahun 1977. Saat itu Renault berani mencoba turbo-engine 1500cc untuk melawan engine yang lebih besar karena mereka ingin mempromosikan mobil komersial mereka yang bertenaga turbo. Pada kenyataannya, walau lebih powerfull, mesin turbo 1500cc tetap saja kalah dengan mesin normal 3000cc karena konsumsi bahan bakarnya yang jauh lebih boros dan bermasalah pada pengendalian mobil akibat kurang responsifnya rpm mesin terhadap gerakan pedal gas pembalap. Akhirnya, justru BMW yang pertamakali merasakan juara dengan mesin turbo di tahun 1981, sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh Renault, sang pelopor. Turbocharger akhirnya benar-benar dilarang FIA di tahun 1987.

CVT Williams FW15Continously Variable Transmision (CVT) adalah piranti pengganti gearbox yang memungkinkan engine beroperasi pada RPM-band yang sempit sehingga torsi maksimum bisa terus dipertahankan. Williams adalah tim yang pertamakali mencoba mengembangkan teknologi ini sejak akhir tahun 70-an dan sempat diujicobakan pada mobil FW-15 nya yang bermesin Renault di tahun 1993. Namun ujicoba itu akhirnya hanya sebatas ujicoba sebab di akhir tahun yang sama FIA melarang penggunaannya untuk lomba.

Penggunaan fan (kipas) di belakang mobil untuk menghasilkan extra-downforce juga dilarang FIA. Alat ini sempat digunakan oleh tim Brabham dan Niki Lauda membuatnya menjuarai GP Swedia di tahun 1978.

Brabham Fan CarSideskirt atau sliding-skirt adalah piranti berbentuk mirip rok dan dipasang di sisi kiri & kanan bodi mobil bagian bawah. Alat ini berguna untuk mencegah aliran angin di kolong mobil mengalir ke samping mobil sehingga ground-effect dari kolong mobil bisa dimaksimalkan. Di tahun 1980 FIA melarang sideskirt dengan cara membatasi ground clearance menjadi minimum 6 cm. Dengan aturan itu, sideskirt tidak mungkin digunakan lagi karena jarak antara sideskirt dengan aspal tidak bisa dijaga mengingat gerakan suspensi yang membolehkan bodi mobil bergerak naik-turun. Namun demikian, insinyur-insinyur F1 tidak berhenti berimprovisasi. Di tahun 1988, mobil T88 dari tim Lotus memperkenalkan desain twin-chassis atau sasis ganda. Sasis pertama mempunyai suspensi yang amat keras terhadap roda dan sasis kedua mempunyai suspensi yang lebih lunak terhadap sasis pertama. Karena sasis pertama punya suspensi yang amat keras terhadap roda, maka jaraknya terhadap aspal bisa dijaga. Dengan membuat sasis pertama ini mirip plat yang mengelilingi sasis kedua, maka sasis pertama ini bisa berfungsi sebagai ”sideskirt” tanpa melanggar aturan ground-clearance minimum 6 cm itu. Namun demikian, twin-chassis ini akhirnya pun dilarang FIA.

Suspensi aktif adalah ”piranti ajaib” yang membantu Williams mendominasi musim balap 1992 dengan Nigel Mansell dan FW14Bnya. Suspensi aktif membuat suspensi mampu mengatur kekerasan peredamannya agar sesuai dengan kondisi jalan yang sedang dilaluinya. Dengan kondisi itu, keempat ban akan selalu mempunyai grip maksimum walaupun sedang melaju di trek bumpy dan banyak tikungan lambatnya. Piranti ini dilarang FIA di musim 1993.

Four-wheel-drive dan six-wheelers (mobil enam roda) adalah usaha untuk membagi torsi (baik pengeraman ataupun akselerasi) kepada lebih banyak roda. Dengan terbaginya torsi, maka grip ban akan meningkat sehingga menghasilkan akselerasi yang lebih baik serta pengereman yang lebih pakem. Four-wheel-drive pernah digunakan pada mobil BRM di awal 60-an sedangkan mobil enam roda pernah digunakan oleh Tyrell di tahun 1977 dan Williams 1981. Baik four-wheel-drive maupun six-wheelers dilarang FIA di tahun 1983.

Perkembangan teknologi memang menjadi daya tarik utama balapan F1. Regulasi FIA yang makin ketat justru menambah daya tarik itu karena bisa dipastikan teknologi-teknologi baru akan segera bermunculan dan tiap tahun kita tetap melihat mobil F1 yang selalu makin kencang