Satu di antara bangunan suci yang bersifat artistik dan bersejarah
adalah Masjidil Haram. Masjid yang terletak di tengah-tengah kota Mekah
dan dikelilingi beberapa bukit ini merupakan pembentukan kembali dan
ikhtisar dari keselarasan, ketertiban, kedamaian alam semesta yang telah
ditetapkan Allah SWT sebagai rumah peribadatan abadi kaum Muslim.
Konon,
pada masa Rasulullah saw hingga Khalifah Abu Bakar, Masjidil Haram
belum memiliki dinding di sekelilingnya. Besarnya pun belum sebesar
sekarang ini, dan belum diberi penerangan lampu-lampu dari bahan bakar
minyak zaitun di sekitar Baitullah (Ka'bah). Keadaan ini sudah sejak
Nabi Ibrahim As, sampai suatu ketika Umar bin Khathab yang menjabat
sebagai khalifah kedua membeli rumah-rumah yang ada dan berserakan di
sekeliling Ka'bah. Oleh Umar rumah-rumah yang telah dibelinya itu,
diruntuhkan untuk memperluas Masjidil Haram tersebut. Dan dibuatnya
dinding pada sekeliling masjid, dengan ketinggian lebih rendah dari
manusia. Di atas dinding-dinding masjid itu, diletakan lampu-lampu oleh
Atabah bin Azrak untuk menerangi Masjidil Haram tersebut.
Pelebaran
dan perluasan Masjidil Haram inipun dilanjutkan pula oleh Utsman bin
Affan, karena semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun orang yang
melakukan shalat di masjid itu. Oleh Utsman bin Affan, Masjidil Haram
itu dibuatkan kamar-kamar bilik (ruang), yang dinamakan ruak, pada
sekeliling masjid, untuk digunakan sebagai asrama.
Perluasan
Masjidil Haram oleh Utsman bin Affan terjadi pada tahun 26 Hijriah, dan
diteruskan oleh Abdullah bin Zubair cucu dari Abu Bakar pada tahun 75
Hijriah. Kemudian oleh Abdul Malik bin Marwan ditambah ketinggian masjid
tersebut dengan perhiasan emas 50 karat pada tiap-tiap tiangnya.
Oleh
Al-Walid, Masjidil Haram diperindah dengan ukiran yang terjalin antara
kalimah dengan motif bunga. Pada beberapa tempat diberi dinding dari
batu marmer dan batu pualam yang dipahat dengan seni yang tinggi. Maka
Masjidil Haram pun menjadi tempat peribadatan yang ideal laksana
gambaran nuansa Surgawi, karena dalam arsitektur Islam tak terdapat
ketegangan. Bahkan, bangunan suci Islam selalu meletakan ketenangan dan
kemuliaan sesuai dengan sifat batin alamiahnya ketimbang sesuatu yang
bertentangan dengan sifat material yang ada.
Arsitektur Islami
Arsitektur
Islam memanfaatkan sepenuhnya cahaya dan bayangan, kehangatan dan
kesejukannya, angin dan sirkulasinya, air dan efek penyejukannya, tanah
dan ciri-ciri isolatifnya serta sifat-sifat protektifnya terhadap cuaca.
Jauh dari adanya percobaan untuk melawan dan menantang alam dan
irama-iramanya, arsitertur Islam selalu selaras dengan lingkungan.
Arsitektur Islam senantiasa melakukan perubahan sedikit mungkin untuk
menciptakan lingkungan yang manusiawi, menjauhi pengingkaran titanis dan
karya-karya artistiknya.
Kota Islami berkembang secara
perlahan dari bumi, mempergunakan semaksimal mungkin sumber-sumber alam
itu sendiri. Dan apabila ditinggalkan biasanya secara perlahan akan
kembali lagi ke perut bumi. Arsitektur Islam ini bukan hanya menyatukan
diri dalam paduan harmoni dan keutuhannya. Selain itu keselarasan
ekologis dalam arsitektur Islam tradisional bukanlah kebijaksanaan
ekologis yang asal-asalan, dan juga tidak berdasarkan pertimbangan
ekonomis dalam pengertian modern, melainkan merupakan konsekuensi dan
alam spiritualitas Islam.
Pada kenyataannya, harus
ditekankan bahwa arsitektur suci Islam adalah sebuah kristalisasi dari
spiritualitas Islam dan kunci untuk memahami spiritualitas ini. ruang
yang terdapat di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya dalam wilayah
kota Islami telah diciptakan untuk memberikan perlindungan dan tempat
manusia dapat menikmati, melalui ke-agungan spiritualitas itu juga.
Kedamaian serta keselarasan alam yang suci sebagai refleksi surga.
Yaitu, surga yang terkandung dalam lubuk dan pusat keberadaan manusia
yang menggemakan kehadiran Tuhan. Ini karena hati orang yang beriman
adalah singgasana yang Maha Penyayang.
Dan semua ciri
serta filosofi arsitektur Islam mewujud lewat kehadiran Masjidil Haram
yang dibangun secara terus menerus oleh tokoh-tokoh umat Islam dari
seluruh Dunia.
Tokoh Pembangun
Bila dirunut, beberapa tokoh yang terlibat dalam pembangunan Masjidil Haram adalah :
Ziad bin Abdullah Al'Harasith, pada 137 Hijriah, dan dia pula-lah yang mendirikan menara Bani Sahm.
Abu
Ja'far Al'Mansyur, pada 140 Hijriah. Dialah yang menutup kembali dengan
batu marmer saat Hajar Aswad agak sedikit keluar dari tempatnya semula,
yang diselesaikan dengan hanya dalam satu malam saja.
Al'Mahdi, pada 161-167 Hijriah. Dia-lah yang menjadikan posisi Ka'bah
terletak di tengah-tengah Masjidil Haram, dan membuat masjid tersebut
dalam bentuk kebudayaan Islam yang sangat indah.
Harun Al'Rasyid Khalifah Mu'tadhid Al'Abbasi. Dia-lah yang memasukkan gedung bersejarah (Darun Nadwah) ke dalam Masjidil Haram.
Khalifah Al'Muktadir Billah yang memperluas bagian sebelah barat Masjidil Haram, dan pintu Ibrahim pada 376 Hijriah.
An'Nasir Hasan bin Nasir Muhammad bin Khalawun pada 760 Hijriah, dialah yang membuat tempat air minum.
Ali
bin Umar, melakukan perbaikan pintu besar yang bernama : As-Salam, dan
ia pulalah yang mewakafkan kitab-kitab untuk perpustakaan Masjidil
Haram, pada 781 Hijriah.
Amir Zainal Abidin Al'Utsmani,
mengadakan pembuatan pintu masjid dan perhiasannya, pancuran air dan
perbaikan atap Ka'bah. Pada tanggal 28 Syawal 802 Hijriah (malam Sabtu)
Masjidil Haram terbakar api (terjadi kebakaran), api berasal dari Rubat
Nazir Al'Khas, letaknya dekat pintu Azurah di sebelah barat Masjidil
Haram. Api membakar seluruh bagian barat masjid, kemudian pada 803
Hijriah diperbaiki oleh Amir Bessak Az-zahiri sampai 804 Hijriah.
Salim
Khan, pada 979 Hijriah memperbaharui loteng dan kubah-kubah yang bundar
dan indah seperti sekarang ini. kemudian dilanjutkan oleh Ahmad Bey,
Muallim Muhammad Al'Mis'ri dan Sultan Murad.
Pada 1072
Hijriah dilanjutkan oleh Sulaiman Bey, yang saat itu menjabat sebagai
Wali Jeddah dengan dana yang diberikan oleh Sultan Mesir, yakni Muhammad
Kizlar Agha.
Setelah itu secara terus menerus, Masjidil
Haram mengalami perbaikan dan penyempurnaan dari hampir semua penguasa
Muslim dunia. Hingga akhirnya ketika keluarga Ibnu Saud berkuasa di Arab
Saudi, tradisi menyempurnakan masjid ini pun ditangani langsung
keluarga kerajaan tersebut.
Keutamaannya
Salah
satu bentuk keutamaan dari Masjidil Haram terungkap lewat sabda
Rasulullah saw: Shalat di masjidku ini lebih baik dari pada seribu kali
shalat yang dilakukan di tempat lain, yang selain Masjidil Haram (HR
Bukhari-Muslim). Maka seorang muslim yang melakukan shalat di Masjidil
Haram ini di ibaratkan seperti pantulan sinar matahari di permukaan
air.
Masjid menjadi penting bukan sekadar karena menjadi
tempat berdoa orang-orang yang beriman, tetapi masjid juga merupakan
lantai tempat mereka menundukan diri. Dengan demikian juga menyucikan
lantai masjid dan mengembalikan lantai ini ke kesucian yang murni
sebagaimana bunyi semula pada permulaan penciptaanya. Nabi Muhammad saw
pertama kali menunaikan di depan Singgasana Tuhan (Al-Arsy) sebelum
beliau mengerjakan shalat di atas tanah (farsy). Maka dengan penyucian
kembali farsy sebagai refleksi arsy mengembalikan bumi ke kondisi
primordialnya sebagai cermin dan pantulan surga
>
Tampilkan postingan dengan label haji. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label haji. Tampilkan semua postingan
Selasa, 23 Oktober 2012
Keunikan Ibadah Haji
1. Maqam Ibrahim
Maqam
Ibrahim sesungguhnya adalah batu bekas pijakan Nabi Ibrahim as yang
dipergunakan pada waktu membangun Ka'bah bersama Nabi Ismail as. Bekas
pijakan tersebut di letakkan dalam bangunan seperti pada gambar. Maqam
Ibrahim bukan berarti Kuburan. Banyak orang mengira ini adalah kuburan
Nabi Ibrahim, padahal hanyalah "Bekas" pijakan.
Di
belakang tempat ini merupakan tempat pelaksanaan shalat sunat 2 rakaat
sesusah melakukan thawaf. Keunikannya, banyak jamaah yang mencium,
merangkul bangunan berbentuk sangkar ini.
2. Di Dinding Ka'bah
dinding Ka'bah dan rukun Yamani
Dinding
ka'bah yang merupakan batu berwarna hitam. kalau didekati permukaannya
mengkilap dan halus serta wangi. Jutaan tangan bahkan lebih dalam kurun
waktu yang sangat lama menyentuhnya. Jika kita dekati, akan banyak ekspresi dari manusia yang menyentuhnya. Ada yang berusaha menempelkan seluruh tubuhnya, ada yang menangis sambil menciumi, ada yang berusaha menyentuh seluruh permukaan keliling Ka'bah bagian bawah.
Lebih seru lagi, pada waktu tertentu Askar Masjidil Haram menyemprotkan parfum yang sangat khas pada seluruh dinding Ka'bah dan selanjutnya bisa ditebak, akan ada banyak orang yang saling berebut mengusapkan badannya, sajadah, kopyah, surban, pakaian ihram dan apa saja yang bisa digunakan untuk mendapatkan aroma khas ini.
4. Mencuci kain ihram dan kain kaffan dengan air zam-zam
Di
pagar dekat dengan tempat pengambilan zam-zam yang berada di luar
Masjidil Haram bisa dilihat kain kafan dan kain ihram dijemur. Ternyata
kain-kain tersebut terlebih dahulu telah dicuci dengan menggunakan air
zam-zam. Padahal kalau pas ada Askar di sekitar situ, bisa dipastikan
kain-kain itu langsung digulung bahkan dibuang. Mungkin karena kelihatan
semrawut mengganggu pemandangan. Bahkan terkadang dikatakan Haram ...
Haram.
setelah kering dibawa pulang. Kata beberapa orang, nantinya digunakan untuk mengkafani dirinya ketika mati.
setelah kering dibawa pulang. Kata beberapa orang, nantinya digunakan untuk mengkafani dirinya ketika mati.
Bukan hanya itu sebagian orang dengan membawa air zam-zam yang diletakkan digalon yang nantinya dipergunakan untuk mandi di pemondokan. Padahal Zam-zam adalah air suci yang tidak boleh dipergunakan untuk membersihkan najis.
5. Di Jabal Rahmah Pada Arafah
Tugu Jabal Rahmah di Padang Arafah
Kebanyakan yang ditulis adalah nama-nama. Menurut pemandu ada kepercayaan jika menulis nama seseorang, dengan harapan pasangannya tetap langgeng sebagaimana Nabi Adan dan Siti Hawa. Kalaupun belum punya pasangan, harapannya yang berangkutan bisa jatuh hati dan menjadi jodohnya
6. Di Padang Arafah
menyelipkan
foto, atau nama pada secarik kertas bahkan ada juga yang memendam foto
kopi KTP di padang Arafah, dengan harapan segera di panggil dan
menjalankan wukuf di Arafah. Benarkah?
7. Di Sekitar Masjidil Haram
secara khusus memberi makan burung merpati di sekitar Masjidil Haram,
ini
biasanya dilakukan jamaah haji dari benua Afrika, entah apa yang mereka
pikirkan dengan perlakuan khusus ini. Bahkan penjual makanan burung ini
berjejer-jejer. Lucunya lagi, begitu yang memberi makan pergi, penjual
tadi mengumpulkan kembali ceceran yang ada untuk dijual kembali.
Mengurangi modal menambah untung.
8. Ketika melakukan thawaf wada',
mengucapkan "saya pamit menjenguk rumah sebentar" sambil berjalan mundur. dengan harapan segera dipanggil lagi ke Baitullah
mengucapkan "saya pamit menjenguk rumah sebentar" sambil berjalan mundur. dengan harapan segera dipanggil lagi ke Baitullah
9. Jamarat Mina
melempar jumrah dengan sepatu, payung, botol air minum mineral, dan benda-benda lain saking jengkelnya pada syetan. padahal cukup dengan menggunakan kerikil kecil sebesar kotoran kambing. Kenapa harus berlebihan?
melempar jumrah dengan sepatu, payung, botol air minum mineral, dan benda-benda lain saking jengkelnya pada syetan. padahal cukup dengan menggunakan kerikil kecil sebesar kotoran kambing. Kenapa harus berlebihan?
10. Entahlah monggo sampean yang nambah.
Itulah kalo boleh saya katakan beberapa keunikan dari musim haji di tanah suci. Harap maklum 3 juta lebih manusia memiliki latar belakang yang beraneka ragam.
Berhaji itu tidak hanya mampu dan memiliki bekal secara finansial, tetapi harus berbekal ilmu. Jauh sebelumnya telah mempelajari bagaimana manasik yang benar sebagaimana yang dicontohkan Baginda Rasulullah saw.
Bekal ilmu yang baik dan benar dan sesuai tuntunan, Insya Allah mengantarkan kita menjalankan sunah, rukun dan kewajiban haji dengan baik. Bahkan Insya Allah kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang justru merusak amal yang kita lakukan.
Terakhir adalah menata hati dalam setiap melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ruhani. Bahwa dengan hati dan niat semata mencari ridha Allah, maka yang kita lakukan Insya Allah dapat menghindarkan diri dari perbuatan sia-sia.
Wallahu a`lam bish-shawab,
Semoga kita dimudahkan dalam segala urusan dunia dan akherat
Keunikan Ibadah haji Iran
Keunikan Ibadah haji Iran
Jemaah haji Indonesia tentunya sering bertemu dengan jemaah haji asal Republik Islam Iran. Pernahkah jemaah haji Indonesia mengetahui secara persis keunikan penyelenggaraan ibadah haji yang ditangani pemerintah Republik Islam Iran?
Sungguh, selama ini jemaah haji Indonesia mengenal jemaah haji Iran sebagai jemaah yang sering aksi unjuk rasa.
Dalam hal ini, ada suatu hal yang menarik yakni jemaah haji Iran pada umumnya solid dan keberadaannya di tanah suci benar-benar didukung sepenuhnya oleh pemerintah Republik Islam Iran.
Salah satu bentuk pemanjaan terhadap jemaah hajinya, pemerintah Iran mengadakan aktivitas mobil ambulans keliling di tanah suci. Salah satu tugasnya adalah membantu jemaah haji Iran yang tersesat atau mengalami gangguan kesehatan.
Disubsidi dana
Pemerintah Republik Islam Iran juga sangat besar perhatiannya terhadap pemondokan para jemaah hajinya. Ini termasuk pula soal suplai makanan minuman, pakaian ihram, peralatan kecil jemaah, dan bahkan tentang pemandu jemaah selama berada di tanah suci. Kamar-kamarnya jemaah haji Iran jauh lebih nyaman dibandingkan dengan kamar-kamar tempat jemaah haji ONH biasa tinggal. Satu kamar rata-rata ditempati 3-4 orang. Tentu saja tidak ada percampuran tempat tinggal antara jemaah haji laki-laki dan perempuan.
Adapun tentang suplai makanan dan minuman, jemaah haji Iran juga dimanjakan oleh pemerintah. Jemaah haji Iran tidak perlu memikirkan apa pun soal konsumsi makanan dan minuman.
Hal lain yang sangat mengagumkan yakni pemerintahan Iran memberikan subsidi dana setiap warga Iran yang akan menunaikan ibadah haji. Jadi, tiap tahunnya, jutaan dolar AS-- anggaran negara Iran-- dikeluarkan untuk menyubsidi jemaah haji Iran.
Data terakhir yang penulis dapatkan dari Sazman-e Haj wa Zeyarat (Lembaga Haji dan Ziarah) Iran menyebutkan bahwa biaya sebenarnya (real cost) ibadah haji per orang sekitar 25 juta riyal. Ini setara dengan Rp 25 juta. Namun, dana yang harus dikeluarkan oleh seorang yang pergi haji hanya sekitar Rp 14,5 juta hingga 15,5 juta.
Perinciannya sebagai berikut, seseorang yang ingin pergi haji harus menyetor uang pendaftaran sebesar 10 juta riyal kepada lembaga haji. Karena sangat banyaknya orang yang mendaftar, orang yang baru mendaftar untuk pergi haji tahun ini baru akan diberangkatkan 4-5 tahun lagi.
Uang pendaftaran itu kemudian disimpan oleh lembaga haji di bank pemerintah atas nama orang tersebut. Setelah 4-5 tahun, yaitu ketika sudah tiba giliran orang itu untuk pergi haji, uang yang disimpan atas namanya di bank pemerintah itu sudah bertambah antara 40 hingga 50 persen.
Dengan demikian, uangnya menjadi sekitar Rp 14 juta s.d. Rp 15 juta. Pemerintah kemudian memberikan subsidi Rp 5,5 juta. Sisa uang yang harus disetor sekitar Rp 4,5 sampai 5,5 juta. Jadi, total uang yang harus dikeluarkan orang Iran untuk pergi haji Rp 14,5 hingga Rp 15,5 juta. Untuk kalangan tertentu seperti keluarga syuhada dan veteran perang, subsidi yang diberikan oleh pemerintah lebih besar lagi, yaitu sampai Rp 10 juta.
Dengan uang sebesar itu, jemaah haji Iran berhak mendapatkan pelayanan penuh dan nyaman dari pemerintahnya. Biaya sebesar ini sudah termasuk manasik, vaksin, pemeriksaan kesehatan, pembimbing, hewan kurban, dll.
Rata-rata jemaah haji Iran yang bisa berangkat haji berdasarkan kuota yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi sebanyak 70.000 orang. Dengan perkiraan rata-rata tiap orangnya mendapat subsidi Rp 5 juta, jumlah seluruhan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pelaksanaan ibadah haji rakyatnya sebesar 350 miliar riyal (kurang lebih sama dengan Rp 350 miliar).
Dengan kebijakan seperti ini, tidak heran jika berangkat haji bukanlah sesuatu yang sangat mewah atau berat bagi rakyat Iran yang secara ekonomis lebih makmur jika dibandingkan dengan rakyat Indonesia. Kebijakan lain pemerintah Iran yang membuat ibadah haji lebih bisa dilakukan oleh rakyat negara ini, adalah kaitannya dengan peraturan ketat giliran pergi haji. Karena haji itu adalah ibadah dalam Islam yang hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.
Jemaah haji Indonesia tentunya sering bertemu dengan jemaah haji asal Republik Islam Iran. Pernahkah jemaah haji Indonesia mengetahui secara persis keunikan penyelenggaraan ibadah haji yang ditangani pemerintah Republik Islam Iran?
Sungguh, selama ini jemaah haji Indonesia mengenal jemaah haji Iran sebagai jemaah yang sering aksi unjuk rasa.
Dalam hal ini, ada suatu hal yang menarik yakni jemaah haji Iran pada umumnya solid dan keberadaannya di tanah suci benar-benar didukung sepenuhnya oleh pemerintah Republik Islam Iran.
Salah satu bentuk pemanjaan terhadap jemaah hajinya, pemerintah Iran mengadakan aktivitas mobil ambulans keliling di tanah suci. Salah satu tugasnya adalah membantu jemaah haji Iran yang tersesat atau mengalami gangguan kesehatan.
Disubsidi dana
Pemerintah Republik Islam Iran juga sangat besar perhatiannya terhadap pemondokan para jemaah hajinya. Ini termasuk pula soal suplai makanan minuman, pakaian ihram, peralatan kecil jemaah, dan bahkan tentang pemandu jemaah selama berada di tanah suci. Kamar-kamarnya jemaah haji Iran jauh lebih nyaman dibandingkan dengan kamar-kamar tempat jemaah haji ONH biasa tinggal. Satu kamar rata-rata ditempati 3-4 orang. Tentu saja tidak ada percampuran tempat tinggal antara jemaah haji laki-laki dan perempuan.
Adapun tentang suplai makanan dan minuman, jemaah haji Iran juga dimanjakan oleh pemerintah. Jemaah haji Iran tidak perlu memikirkan apa pun soal konsumsi makanan dan minuman.
Hal lain yang sangat mengagumkan yakni pemerintahan Iran memberikan subsidi dana setiap warga Iran yang akan menunaikan ibadah haji. Jadi, tiap tahunnya, jutaan dolar AS-- anggaran negara Iran-- dikeluarkan untuk menyubsidi jemaah haji Iran.
Data terakhir yang penulis dapatkan dari Sazman-e Haj wa Zeyarat (Lembaga Haji dan Ziarah) Iran menyebutkan bahwa biaya sebenarnya (real cost) ibadah haji per orang sekitar 25 juta riyal. Ini setara dengan Rp 25 juta. Namun, dana yang harus dikeluarkan oleh seorang yang pergi haji hanya sekitar Rp 14,5 juta hingga 15,5 juta.
Perinciannya sebagai berikut, seseorang yang ingin pergi haji harus menyetor uang pendaftaran sebesar 10 juta riyal kepada lembaga haji. Karena sangat banyaknya orang yang mendaftar, orang yang baru mendaftar untuk pergi haji tahun ini baru akan diberangkatkan 4-5 tahun lagi.
Uang pendaftaran itu kemudian disimpan oleh lembaga haji di bank pemerintah atas nama orang tersebut. Setelah 4-5 tahun, yaitu ketika sudah tiba giliran orang itu untuk pergi haji, uang yang disimpan atas namanya di bank pemerintah itu sudah bertambah antara 40 hingga 50 persen.
Dengan demikian, uangnya menjadi sekitar Rp 14 juta s.d. Rp 15 juta. Pemerintah kemudian memberikan subsidi Rp 5,5 juta. Sisa uang yang harus disetor sekitar Rp 4,5 sampai 5,5 juta. Jadi, total uang yang harus dikeluarkan orang Iran untuk pergi haji Rp 14,5 hingga Rp 15,5 juta. Untuk kalangan tertentu seperti keluarga syuhada dan veteran perang, subsidi yang diberikan oleh pemerintah lebih besar lagi, yaitu sampai Rp 10 juta.
Dengan uang sebesar itu, jemaah haji Iran berhak mendapatkan pelayanan penuh dan nyaman dari pemerintahnya. Biaya sebesar ini sudah termasuk manasik, vaksin, pemeriksaan kesehatan, pembimbing, hewan kurban, dll.
Rata-rata jemaah haji Iran yang bisa berangkat haji berdasarkan kuota yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi sebanyak 70.000 orang. Dengan perkiraan rata-rata tiap orangnya mendapat subsidi Rp 5 juta, jumlah seluruhan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pelaksanaan ibadah haji rakyatnya sebesar 350 miliar riyal (kurang lebih sama dengan Rp 350 miliar).
Dengan kebijakan seperti ini, tidak heran jika berangkat haji bukanlah sesuatu yang sangat mewah atau berat bagi rakyat Iran yang secara ekonomis lebih makmur jika dibandingkan dengan rakyat Indonesia. Kebijakan lain pemerintah Iran yang membuat ibadah haji lebih bisa dilakukan oleh rakyat negara ini, adalah kaitannya dengan peraturan ketat giliran pergi haji. Karena haji itu adalah ibadah dalam Islam yang hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.
Tanda - Tanda Haji Mabrur
Tanda - Tanda Haji Mabrur
Kata mabrur dalam bahasa Arab berasal dari kata barra-yaburrubarran dan bermakna taat berbakti.
Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir mabrur dijelaskan terkait dengan kata-kata albirru yang maknanya adalah ketaatan, kesalehan, atau kebaikan.
Haji mabrur berarti mempunyai kebaikan yang melimpah ruah, baik bagi pelaku haji tersebut maupun bagi orang tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan haji. Misalnya, orang yang tidak berangkat haji, berkeinginan untuk berangkat, menitip doa, mengunjungi orang yang berangkat dan pulang haji, mengantar dan mendoakannya, kesemuanya itu akan peroleh kebaikan.
Dengan demikian, kemabruran haji tersebut tidak hanya pada pelakunya, akan tetapi prosesi haji memang dapat mendatangkan kebaikan semua orang. Di sinilah salah satu keunikan ibadah haji dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
Sementara itu, pendapat para ulama mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur ria (sombong). Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.
Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad sallallahu alaihi wassalam, “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (H.R. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan, ia memang pantas untuk masuk surga.”
Meskipun pada hakikatnya, hanya Allah-lah yang menentukan dan mengetahui apakah diterima dan tidaknya haji yang kita tunaikan. Namun, melalui penjelasan yang bersumber dari Rasulullah saw., setidaknya menjadi penguat bagi kita untuk lebih berharap kepada Alah Swt. agar ibadah haji yang kita tunaikan menjadi haji mabrur.
Petunjuk Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam hadis-Nya dalam menggapai haji mabrur, antara lain:
1. Tunaikanlah ibadah haji dengan benar-benar berangkat dari motivasi dan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Kedudukan niat dalam setiap ibadah dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penilaian dari setiap arah dan tujuah ibadah yang kita tunaikan.
Penegasan niat di atas dikuatkan lagi oleh Rasulullah saw., yang dijelaskan dalam sabdanya: “Sesungguh setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu.” (Muttafaq’ Alaihi).
Oleh karena haji harus benar-benar diniatkan karena Allah Swt. Apalagi haji ini, sangat sarat dengan perasaan ria (sombong) dan sumah (senang mendapat pujian), mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.
2. Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw.: ”Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kemudian diucapkannya, "Labbaikallaahumma labbaik ( ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit: “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa.”
Sebaliknya, jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan: "Labbaik". Maka penyeru dari langit berseru: "Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima.” (H.R. Tabrani).
3. Melakukan manasik hajinya dengan meneladani dan mempedomani manasik haji Rasulullah saw. Ini sudah pasti dan dapat dipahami karena ibadah haji merupakan ibadah mahdah yang cara pelaksanaanya mutlak harus mempedomani Rasulullah saw.
4. Ibadah haji yang ditunaikan harus mampumemperbaiki akhlak dan tingkah laku. Sesudah kembali dari Tanah Suci, dan dapat menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai dari berihram di maiqat yang telah ditentukan, tawaf di keliling baitullah, sai antara Safa dan Marwah, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifa. Melontar jumrah dan bermalan di Mina, tawaf ifadah dan akhirnya tawaf wada ketika kembali ke Tanah Air, sesuai dengan kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. (tidak rafats, tidak fusuq dan tidak bertengkar/bermusuhan), maka itu semua menjadi sarana untuk merefungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali kepada fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlak yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam, tidak terkecuali ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Upaya pendekatan ini sekaligus menyucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlak yang mulia (manusia sejati). Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah Swt. secara vertikal dan hubungan sesama manusia secara horizontal.
Tidak satu pun di antara kita yang menginginkan setiap ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah Swt. Pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya dalam sistem ajaran Islam.
Di samping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas yang tinggi, juga sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang mengagungkan. Dengan berangkat dari niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap rida Allah Swt., dengan biaya haji yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul saw. dan menghiasi dirinya dengan amal-amal saleh dan akhlakul karimah, merupakan indikator ibadah haji diterima Allah Swt. Semoga.
Setidaknya ada tiga ciri haji mabrur, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni: pertama, ayyakuna tibil kalam (supaya setelah haji omongannya enak, manis, menyenangkan, nggak menyakiti orang).
Kedua, ifsaus salam (suka damai). Jadi, orang yang telah berhaji itu seharusnya tidak suka bertengkar, apalagi masalah sepele. Ia lebih menyukai perdamaian.
Ketiga, itamuth tha’am, sosialnya semakin tinggi karena memberi makan masyarakat. Jadi, kalau sudah haji masih pelit, koret, bakhil, berarti hajinya belum atau tidak mabrur.
Dari Abu Hurairah radiallahu anhu (r.a.), ia berkata,
Nabi sallallahu alaihi wassalam ditanya, "Amalan apa yang paling afdal?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya."
Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Jihad di jalan Allah."
Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?"
"Haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam." (H.R. Bukhari No. 1519)
Dari 'Aisyah—ummul Mukminin—radiallahu anhu, ia berkata,
"Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdal. Apakah berarti kami harus berjihad?"
"Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam.” (H.R. Bukhari No. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi sallallahu alaihi wassalam bersabda,
“Siapa yang berhaji ke Kakbah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. Bukhari No. 1521).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa."
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Haji dan umrah termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa, dan badan.
Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, "Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam salat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya dengan puasa. Dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdal
Kata mabrur dalam bahasa Arab berasal dari kata barra-yaburrubarran dan bermakna taat berbakti.
Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir mabrur dijelaskan terkait dengan kata-kata albirru yang maknanya adalah ketaatan, kesalehan, atau kebaikan.
Haji mabrur berarti mempunyai kebaikan yang melimpah ruah, baik bagi pelaku haji tersebut maupun bagi orang tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan haji. Misalnya, orang yang tidak berangkat haji, berkeinginan untuk berangkat, menitip doa, mengunjungi orang yang berangkat dan pulang haji, mengantar dan mendoakannya, kesemuanya itu akan peroleh kebaikan.
Dengan demikian, kemabruran haji tersebut tidak hanya pada pelakunya, akan tetapi prosesi haji memang dapat mendatangkan kebaikan semua orang. Di sinilah salah satu keunikan ibadah haji dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
Sementara itu, pendapat para ulama mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur ria (sombong). Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.
Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad sallallahu alaihi wassalam, “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (H.R. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan, ia memang pantas untuk masuk surga.”
Meskipun pada hakikatnya, hanya Allah-lah yang menentukan dan mengetahui apakah diterima dan tidaknya haji yang kita tunaikan. Namun, melalui penjelasan yang bersumber dari Rasulullah saw., setidaknya menjadi penguat bagi kita untuk lebih berharap kepada Alah Swt. agar ibadah haji yang kita tunaikan menjadi haji mabrur.
Petunjuk Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam hadis-Nya dalam menggapai haji mabrur, antara lain:
1. Tunaikanlah ibadah haji dengan benar-benar berangkat dari motivasi dan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Kedudukan niat dalam setiap ibadah dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penilaian dari setiap arah dan tujuah ibadah yang kita tunaikan.
Penegasan niat di atas dikuatkan lagi oleh Rasulullah saw., yang dijelaskan dalam sabdanya: “Sesungguh setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu.” (Muttafaq’ Alaihi).
Oleh karena haji harus benar-benar diniatkan karena Allah Swt. Apalagi haji ini, sangat sarat dengan perasaan ria (sombong) dan sumah (senang mendapat pujian), mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.
2. Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw.: ”Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kemudian diucapkannya, "Labbaikallaahumma labbaik ( ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit: “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa.”
Sebaliknya, jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan: "Labbaik". Maka penyeru dari langit berseru: "Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima.” (H.R. Tabrani).
3. Melakukan manasik hajinya dengan meneladani dan mempedomani manasik haji Rasulullah saw. Ini sudah pasti dan dapat dipahami karena ibadah haji merupakan ibadah mahdah yang cara pelaksanaanya mutlak harus mempedomani Rasulullah saw.
4. Ibadah haji yang ditunaikan harus mampumemperbaiki akhlak dan tingkah laku. Sesudah kembali dari Tanah Suci, dan dapat menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai dari berihram di maiqat yang telah ditentukan, tawaf di keliling baitullah, sai antara Safa dan Marwah, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifa. Melontar jumrah dan bermalan di Mina, tawaf ifadah dan akhirnya tawaf wada ketika kembali ke Tanah Air, sesuai dengan kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. (tidak rafats, tidak fusuq dan tidak bertengkar/bermusuhan), maka itu semua menjadi sarana untuk merefungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali kepada fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlak yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam, tidak terkecuali ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Upaya pendekatan ini sekaligus menyucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlak yang mulia (manusia sejati). Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah Swt. secara vertikal dan hubungan sesama manusia secara horizontal.
Tidak satu pun di antara kita yang menginginkan setiap ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah Swt. Pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya dalam sistem ajaran Islam.
Di samping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas yang tinggi, juga sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang mengagungkan. Dengan berangkat dari niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap rida Allah Swt., dengan biaya haji yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul saw. dan menghiasi dirinya dengan amal-amal saleh dan akhlakul karimah, merupakan indikator ibadah haji diterima Allah Swt. Semoga.
Setidaknya ada tiga ciri haji mabrur, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni: pertama, ayyakuna tibil kalam (supaya setelah haji omongannya enak, manis, menyenangkan, nggak menyakiti orang).
Kedua, ifsaus salam (suka damai). Jadi, orang yang telah berhaji itu seharusnya tidak suka bertengkar, apalagi masalah sepele. Ia lebih menyukai perdamaian.
Ketiga, itamuth tha’am, sosialnya semakin tinggi karena memberi makan masyarakat. Jadi, kalau sudah haji masih pelit, koret, bakhil, berarti hajinya belum atau tidak mabrur.
Dari Abu Hurairah radiallahu anhu (r.a.), ia berkata,
Nabi sallallahu alaihi wassalam ditanya, "Amalan apa yang paling afdal?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya."
Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Jihad di jalan Allah."
Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?"
"Haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam." (H.R. Bukhari No. 1519)
Dari 'Aisyah—ummul Mukminin—radiallahu anhu, ia berkata,
"Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdal. Apakah berarti kami harus berjihad?"
"Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam.” (H.R. Bukhari No. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi sallallahu alaihi wassalam bersabda,
“Siapa yang berhaji ke Kakbah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. Bukhari No. 1521).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa."
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Haji dan umrah termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa, dan badan.
Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, "Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam salat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya dengan puasa. Dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdal
Langganan:
Postingan (Atom)