Tanda - Tanda Haji Mabrur
Kata mabrur dalam bahasa Arab berasal dari kata barra-yaburrubarran dan bermakna taat berbakti.
Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir mabrur dijelaskan terkait dengan kata-kata albirru yang maknanya adalah ketaatan, kesalehan, atau kebaikan.
Haji
mabrur berarti mempunyai kebaikan yang melimpah ruah, baik bagi pelaku
haji tersebut maupun bagi orang tidak terlibat langsung dalam
pelaksanaan haji. Misalnya, orang yang tidak berangkat haji,
berkeinginan untuk berangkat, menitip doa, mengunjungi orang yang
berangkat dan pulang haji, mengantar dan mendoakannya, kesemuanya itu
akan peroleh kebaikan.
Dengan demikian, kemabruran haji tersebut
tidak hanya pada pelakunya, akan tetapi prosesi haji memang dapat
mendatangkan kebaikan semua orang. Di sinilah salah satu keunikan ibadah
haji dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
Sementara itu,
pendapat para ulama mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak
tercampuri unsur ria (sombong). Ulama yang lain berpendapat bahwa haji
mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat
yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.
Jika
telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, orang yang
berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan
sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad sallallahu alaihi
wassalam, “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain
surga.” (H.R. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).
An Nawawi
rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas
baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika
pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan, ia memang pantas
untuk masuk surga.”
Meskipun pada hakikatnya, hanya Allah-lah
yang menentukan dan mengetahui apakah diterima dan tidaknya haji yang
kita tunaikan. Namun, melalui penjelasan yang bersumber dari Rasulullah
saw., setidaknya menjadi penguat bagi kita untuk lebih berharap kepada
Alah Swt. agar ibadah haji yang kita tunaikan menjadi haji mabrur.
Petunjuk Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam hadis-Nya dalam menggapai haji mabrur, antara lain:
1.
Tunaikanlah ibadah haji dengan benar-benar berangkat dari motivasi dan
niat yang ikhlas karena Allah Swt. Kedudukan niat dalam setiap ibadah
dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi
penilaian dari setiap arah dan tujuah ibadah yang kita tunaikan.
Penegasan
niat di atas dikuatkan lagi oleh Rasulullah saw., yang dijelaskan dalam
sabdanya: “Sesungguh setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan
masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu.” (Muttafaq’ Alaihi).
Oleh
karena haji harus benar-benar diniatkan karena Allah Swt. Apalagi haji
ini, sangat sarat dengan perasaan ria (sombong) dan sumah (senang
mendapat pujian), mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah
ini, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.
2.
Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji
haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hal ini ditegaskan oleh
Rasulullah saw.: ”Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari
harta yang halal dan kemudian diucapkannya, "Labbaikallaahumma labbaik
( ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata
penyeru dari langit: “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan
semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal,
maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa.”
Sebaliknya, jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan: "Labbaik".
Maka penyeru dari langit berseru: "Tidak diterima kunjunganmu dan
engkau tidak berbahagia. Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram,
maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima.” (H.R. Tabrani).
3.
Melakukan manasik hajinya dengan meneladani dan mempedomani manasik
haji Rasulullah saw. Ini sudah pasti dan dapat dipahami karena ibadah
haji merupakan ibadah mahdah yang cara pelaksanaanya mutlak harus
mempedomani Rasulullah saw.
4.
Ibadah haji yang ditunaikan harus mampumemperbaiki akhlak dan tingkah
laku. Sesudah kembali dari Tanah Suci, dan dapat menyelesaikan manasik
hajinya secara sempurna, mulai dari berihram di maiqat yang telah
ditentukan, tawaf di keliling baitullah, sai antara Safa dan Marwah,
wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifa. Melontar jumrah dan bermalan di
Mina, tawaf ifadah dan akhirnya tawaf wada ketika kembali ke Tanah Air,
sesuai dengan kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. (tidak rafats,
tidak fusuq dan tidak bertengkar/bermusuhan), maka itu semua menjadi
sarana untuk merefungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali
kepada fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki
akhlak yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah
dalam Islam, tidak terkecuali ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Upaya pendekatan ini sekaligus menyucikan jiwa kita
menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan
perilaku dan akhlak yang mulia (manusia sejati). Ibadah haji yang
membentuk perilaku akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan
peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah
Swt. secara vertikal dan hubungan sesama manusia secara horizontal.
Tidak
satu pun di antara kita yang menginginkan setiap ibadah yang kita
lakukan tidak diterima Allah Swt. Pelaksanaan ibadah haji merupakan
pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah
lainnya dalam sistem ajaran Islam.
Di samping ibadah ini
merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas yang tinggi, juga sangat
sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang
mengagungkan. Dengan berangkat dari niat yang suci dan ikhlas
semata-mata berharap rida Allah Swt., dengan biaya haji yang halal,
mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul saw. dan menghiasi
dirinya dengan amal-amal saleh dan akhlakul karimah, merupakan indikator
ibadah haji diterima Allah Swt. Semoga.
Setidaknya ada tiga ciri haji mabrur, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni: pertama, ayyakuna tibil kalam (supaya setelah haji omongannya enak, manis, menyenangkan, nggak menyakiti orang).
Kedua, ifsaus salam
(suka damai). Jadi, orang yang telah berhaji itu seharusnya tidak suka
bertengkar, apalagi masalah sepele. Ia lebih menyukai perdamaian.
Ketiga, itamuth tha’am,
sosialnya semakin tinggi karena memberi makan masyarakat. Jadi, kalau
sudah haji masih pelit, koret, bakhil, berarti hajinya belum atau tidak
mabrur.
Dari Abu Hurairah radiallahu anhu (r.a.), ia berkata,
Nabi sallallahu alaihi wassalam ditanya, "Amalan apa yang paling afdal?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya."
Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?"
Beliau sallallahu alaihi wassalam menjawab, "Jihad di jalan Allah."
Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?"
"Haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam." (H.R. Bukhari No. 1519)
Dari 'Aisyah—ummul Mukminin—radiallahu anhu, ia berkata,
"Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdal. Apakah berarti kami harus berjihad?"
"Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur," jawab Nabi sallallahu alaihi wassalam.” (H.R. Bukhari No. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi sallallahu alaihi wassalam bersabda,
“Siapa
yang berhaji ke Kakbah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak
berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. Bukhari No. 1521).
Ibnu Hajar Asy
Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Haji disebut jihad karena di dalam
amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa."
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Haji dan umrah termasuk
jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta,
jiwa, dan badan.
Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, "Aku telah
memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam salat, terdapat jihad
dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya dengan puasa. Dalam
haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa
amalan haji lebih afdal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar