Dengan tenaga mesin yang lebih dari 700 BHP (Brake Horse Power) dan bobot mobil yang tak lebih dari 700 kg, mobil balap F1 rawan sekali terhadap skid atau kondisi dimana roda berputar lebih cepat dari semestinya. Kondisi ini harus dihindari karena, tentu saja, mengurangi kecepatan berakselerasi dan dapat mengakibatkan sliding yang sangat berbahaya.
Untuk mengatasinya, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama adalah dengan meningkatkan koefisien gesek atau grip ban. Ini bisa dilakukan dengan menambah lebar ban dan/atau meningkatkan kualitas kompon ban. Kedua adalah dengan menambah gaya normal aspal terhadap ban. Gaya ini identik dengan jumlah gaya dari ban yang menekan aspal dimana jumlah gaya itu adalah berasal dari berat mobil dan gaya tekan ke bawah (downforce).
Dengan keterbatasan yang diberikan oleh FIA lewat regulasinya, menambah lebar ban jelas tidak mungkin dilakukan. Menambah bobot mobil juga akan merugikan karena justru mengurangi kemampuan mobil untuk berakselerasi dan membuat gaya sentrifugal saat berbelok jadi makin besar sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan. Cara yang paling populer adalah dengan memberikan downforce yang cukup pada mobil sehingga ban dapat selalu “melekat” di atas aspal. Sayangnya penambahan downforce ini selalu disertai dengan efek-efek negatif lainnya berupa peningkatan dragforce (hambatan angin terhadap mobil), efek turbulensi, stall dan lain-lain. Secara sederhana, efek akibat aliran udara terhadap mobil dan komponennya di atas dinamakan efek aerodinamika.
Pada era balapan modern dewasa ini, efek aerodinamika hampir sama pentingnya, jika tidak bisa dikatakan lebih penting, dengan faktor power mesin. Sebagai bukti, kita bisa bandingkan performa Tim Ferrari dan Tim Sauber di musim 2004 yang jauh berbeda walau mereka menggunakan mesin dan ban yang sama.
Efek aerodinamika ini bersifat kompleks dan multi faktor sehingga amat sulit dihitung dan dianalisis di atas kertas. Untuk menganalisisnya, para insinyur aerodinamika mendesain fasilitas pengujian yang dinamakan terowongan angin (wind tunnel). Di terowongan angin ini, angin dihembuskan oleh kipas (fan) berdiameter besar dengan kecepatan tertentu untuk mensimulasikan kondisi dimana mobil menghantam angin saat balapan.
Pada terowongan angin, mobil diletakkan secara statis dengan beberapa titik tumpuan. Titik tumpuan biasanya ada di keempat roda dan satu titik di atas mobil. Sensor gaya diletakkan di semua titik tumpuan mobil dan mengukur besarnya gaya di dua arah, arah longitudinal (searah arah angin) untuk mengukur hambatan angin terhadap mobil (dragforce) dan gaya arah vertikal atas-bawah untuk menghitung gaya tekan ke bawah atau gaya angkat (downforce atau liftforce).
Secara umum, terowongan angin dibedakan atas 2 jenis, yaitu terbuka dan tertutup. Seperti namanya, terowongan terbuka mempunyai sirkuit yang terbuka di bagian depan dan belakangnya. Karena itu angin yang digunakan untuk tes berasal dari udara luar yang terisap masuk ke dalam terowongan dan kemudian akan dibuang kembali ke udara luar di bagian belakang terowongan. Terowongan jenis ini punya kelemahan yang amat mengganggu yaitu sangat tergantung pada kondisi udara luar seperti kecepatan angin, serta temperatur, dan tekanan udara.
Terowongan jenis kedua adalah jenis tertutup. Terowongan ini mempunyai keunggulan yang sangat penting dibanding jenis pertama yaitu tenaga untuk menggerakkan kipasnya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab pada sirkuit tertutup tentu saja angin akan terus bergerak berputar sepanjang terowongan. Dengan demikian, fungsi kipas hanya untuk melawan kerugian tekanan angin akibat gesekannya dengan dinding-dinding terowongan saja.
Karena biaya investasi yang murah namun biaya operasi yang tinggi, terowongan angin jenis terbuka biasanya berdimensi kecil dan dimiliki oleh lembaga-lembaga non komersial seperti laboratorium penelitian dan perguruan tinggi. Sedangkan terowongan angin jenis kedua banyak dimiliki oleh pabrik-pabrik mobil terkemuka dan tim-tim balap mobil.
Aliran angin di dalam terowongan angin harus dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya. Simulasi ini tidak mudah karena banyak kendala yang menuntut banyak modifikasi dan inovasi.
Masalah pertama adalah ukuran model mobil yang akan dites. Para insinyur aerodinamika menginginkan ukuran model yang sama persis dengan mobil aslinya dengan alasan lebih mudah membuat detail-detail kecil seperti lubang radiator, lekukan sayap dan sebagainya. Selain itu aliran turbulensi udara yang dihasilkan model yang seukuran dengan mobil asli akan semakin mendekati turbulensi udara yang sebenarnya akan terjadi. Turbulensi ini adalah kondisi yang amat tidak disukai oleh para insinyur aerodinamika karena memberikan efek negatif terhadap efek aerodinamika secara keseluruhan. Namun demikian, aliran turbulen amat sulit untuk dihindari. Karena itu aliran turbulen ini harus disimulasikan semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya.
Namun demikian, membuat ukuran model sama dengan mobil aslinya bukanlah pilihan yang paling ideal. Semakin besar ukuran model, semakin dekat pula permukaan model dengan dinding terowongan angin. Kondisi ini membuat semacam penyempitan jalannya angin di sekitar model sehingga membuat aliran angin lebih cepat lajunya. Tentu saja kondisi ini tidak diinginkan karena membuat simulasi menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di jalanan. Dengan pertimbangan ini, semakin kecil model, akan semakin baik, karena pola aliran angin di sekitar model menjadi lebih mirip kondisi di jalanan. Sayangnya, ukuran model ini berbanding terbalik dengan laju udara yang harus dihasilkan oleh kipas. Untuk model dengan ukuran 1/5 dari mobil aslinya, laju udara simulasi harus dibuat 5 kali lebih cepat daripada kondisi sebenarnya agar pola turbulensi yang terbentuk mirip dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian, berarti semakin kecil model, biaya operasi tes menjadi semakin besar karena kipas harus berputar lebih cepat. Dengan kedala-kendala di atas, para insinyur aerodinamika harus benar-benar memikirkan ukuran model yang paling ideal sesuai dengan fasilitas dan kemampuan terowongan angin yang dimilkinya.
Masalah kedua adalah simulasi laju udara di kolong mobil. Pada kondisi di jalanan, udara di kolong mobil dan aspal dalam kondisi diam sedangkan mobil dalam kondisi melaju. Maka udara di kolong mobil berada di antara dua permukaan, satu permukaan diam dan satu lagi permukaan yang bergerak. Pada terowongan angin, udara di kolong mobil bergerak di antara dua permukaan diam. Kondisi ini membuat tekanan statis di kolong mobil menjadi jauh lebih rendah daripada kondisi di jalanan atau dengan kata lain terjadi ground effect berlebihan. Tentu saja ini menjadi masalah karena membuat simulasi, lagi-lagi, tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Untuk mengatasinya, para insinyur aerodinamika membuat lantai yang bisa bergerak sesuai dengan laju angin. Lantai ini terbuat dari karet dan menyerupai belt conveyor. Kendala yang timbul adalah kemampuan bergerak lantai yang terbatas dan sulit menyamai laju angin di dalam terowongan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah rolling resistance atau hambatan putar roda akan membuat pengukuran terhadap dragforce menjadi kurang akurat. Namun demikian, semua kendala ini bisa diminimalkan dengan bantuan modifikasi terhadap hasil-hasil tes dengan beberapa persamaan empiris dari hasil pengujian lain, digabungkan dengan analisis aerodinamika oleh program komputer berbasis komputasi dinamika fluida.
Tim F1 yang baru-baru ini membangun fasilitas terowongan angin baru adalah Sauber dan Honda. Terowongan angin mereka tergolong canggih, berjenis close circuit dengan fasilitas rolling platform (lantai berjalan) yang kecepatan gerak lantainya bisa menyamai kecepatan angin maksimum sebesar 300 km/j. Luas penampang pada area tes adalah 15 m2 sehingga memungkinkan mengetes model mobil dengan skala 1:1. Yang istimewa dari terowongan angin Sauber ini adalah area tesnya relatif lebih panjang daripada terowongan angin lainnya sehingga memungkinkan melakukan tes terhadap 2 model berskala 60% sekaligus yang diletakkan dalam posisi depan-belakang. Posisi pengetesan seperti ini berguna untuk menguji efek turbulensi angin yang dialami oleh mobil di belakang akibat gangguan aliran angin dari mobil di depannya
Dengan tenaga mesin yang lebih dari 700 BHP (Brake Horse Power) dan bobot mobil yang tak lebih dari 700 kg, mobil balap F1 rawan sekali terhadap skid atau kondisi dimana roda berputar lebih cepat dari semestinya. Kondisi ini harus dihindari karena, tentu saja, mengurangi kecepatan berakselerasi dan dapat mengakibatkan sliding yang sangat berbahaya.
Untuk mengatasinya, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama adalah dengan meningkatkan koefisien gesek atau grip ban. Ini bisa dilakukan dengan menambah lebar ban dan/atau meningkatkan kualitas kompon ban. Kedua adalah dengan menambah gaya normal aspal terhadap ban. Gaya ini identik dengan jumlah gaya dari ban yang menekan aspal dimana jumlah gaya itu adalah berasal dari berat mobil dan gaya tekan ke bawah (downforce).
Dengan keterbatasan yang diberikan oleh FIA lewat regulasinya, menambah lebar ban jelas tidak mungkin dilakukan. Menambah bobot mobil juga akan merugikan karena justru mengurangi kemampuan mobil untuk berakselerasi dan membuat gaya sentrifugal saat berbelok jadi makin besar sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan. Cara yang paling populer adalah dengan memberikan downforce yang cukup pada mobil sehingga ban dapat selalu “melekat” di atas aspal. Sayangnya penambahan downforce ini selalu disertai dengan efek-efek negatif lainnya berupa peningkatan dragforce (hambatan angin terhadap mobil), efek turbulensi, stall dan lain-lain. Secara sederhana, efek akibat aliran udara terhadap mobil dan komponennya di atas dinamakan efek aerodinamika.
Pada era balapan modern dewasa ini, efek aerodinamika hampir sama pentingnya, jika tidak bisa dikatakan lebih penting, dengan faktor power mesin. Sebagai bukti, kita bisa bandingkan performa Tim Ferrari dan Tim Sauber di musim 2004 yang jauh berbeda walau mereka menggunakan mesin dan ban yang sama.
Efek aerodinamika ini bersifat kompleks dan multi faktor sehingga amat sulit dihitung dan dianalisis di atas kertas. Untuk menganalisisnya, para insinyur aerodinamika mendesain fasilitas pengujian yang dinamakan terowongan angin (wind tunnel). Di terowongan angin ini, angin dihembuskan oleh kipas (fan) berdiameter besar dengan kecepatan tertentu untuk mensimulasikan kondisi dimana mobil menghantam angin saat balapan.
Pada terowongan angin, mobil diletakkan secara statis dengan beberapa titik tumpuan. Titik tumpuan biasanya ada di keempat roda dan satu titik di atas mobil. Sensor gaya diletakkan di semua titik tumpuan mobil dan mengukur besarnya gaya di dua arah, arah longitudinal (searah arah angin) untuk mengukur hambatan angin terhadap mobil (dragforce) dan gaya arah vertikal atas-bawah untuk menghitung gaya tekan ke bawah atau gaya angkat (downforce atau liftforce).
Secara umum, terowongan angin dibedakan atas 2 jenis, yaitu terbuka dan tertutup. Seperti namanya, terowongan terbuka mempunyai sirkuit yang terbuka di bagian depan dan belakangnya. Karena itu angin yang digunakan untuk tes berasal dari udara luar yang terisap masuk ke dalam terowongan dan kemudian akan dibuang kembali ke udara luar di bagian belakang terowongan. Terowongan jenis ini punya kelemahan yang amat mengganggu yaitu sangat tergantung pada kondisi udara luar seperti kecepatan angin, serta temperatur, dan tekanan udara.
Terowongan jenis kedua adalah jenis tertutup. Terowongan ini mempunyai keunggulan yang sangat penting dibanding jenis pertama yaitu tenaga untuk menggerakkan kipasnya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab pada sirkuit tertutup tentu saja angin akan terus bergerak berputar sepanjang terowongan. Dengan demikian, fungsi kipas hanya untuk melawan kerugian tekanan angin akibat gesekannya dengan dinding-dinding terowongan saja.
Karena biaya investasi yang murah namun biaya operasi yang tinggi, terowongan angin jenis terbuka biasanya berdimensi kecil dan dimiliki oleh lembaga-lembaga non komersial seperti laboratorium penelitian dan perguruan tinggi. Sedangkan terowongan angin jenis kedua banyak dimiliki oleh pabrik-pabrik mobil terkemuka dan tim-tim balap mobil.
Aliran angin di dalam terowongan angin harus dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya. Simulasi ini tidak mudah karena banyak kendala yang menuntut banyak modifikasi dan inovasi.
Masalah pertama adalah ukuran model mobil yang akan dites. Para insinyur aerodinamika menginginkan ukuran model yang sama persis dengan mobil aslinya dengan alasan lebih mudah membuat detail-detail kecil seperti lubang radiator, lekukan sayap dan sebagainya. Selain itu aliran turbulensi udara yang dihasilkan model yang seukuran dengan mobil asli akan semakin mendekati turbulensi udara yang sebenarnya akan terjadi. Turbulensi ini adalah kondisi yang amat tidak disukai oleh para insinyur aerodinamika karena memberikan efek negatif terhadap efek aerodinamika secara keseluruhan. Namun demikian, aliran turbulen amat sulit untuk dihindari. Karena itu aliran turbulen ini harus disimulasikan semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya.
Namun demikian, membuat ukuran model sama dengan mobil aslinya bukanlah pilihan yang paling ideal. Semakin besar ukuran model, semakin dekat pula permukaan model dengan dinding terowongan angin. Kondisi ini membuat semacam penyempitan jalannya angin di sekitar model sehingga membuat aliran angin lebih cepat lajunya. Tentu saja kondisi ini tidak diinginkan karena membuat simulasi menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di jalanan. Dengan pertimbangan ini, semakin kecil model, akan semakin baik, karena pola aliran angin di sekitar model menjadi lebih mirip kondisi di jalanan. Sayangnya, ukuran model ini berbanding terbalik dengan laju udara yang harus dihasilkan oleh kipas. Untuk model dengan ukuran 1/5 dari mobil aslinya, laju udara simulasi harus dibuat 5 kali lebih cepat daripada kondisi sebenarnya agar pola turbulensi yang terbentuk mirip dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian, berarti semakin kecil model, biaya operasi tes menjadi semakin besar karena kipas harus berputar lebih cepat. Dengan kedala-kendala di atas, para insinyur aerodinamika harus benar-benar memikirkan ukuran model yang paling ideal sesuai dengan fasilitas dan kemampuan terowongan angin yang dimilkinya.
Masalah kedua adalah simulasi laju udara di kolong mobil. Pada kondisi di jalanan, udara di kolong mobil dan aspal dalam kondisi diam sedangkan mobil dalam kondisi melaju. Maka udara di kolong mobil berada di antara dua permukaan, satu permukaan diam dan satu lagi permukaan yang bergerak. Pada terowongan angin, udara di kolong mobil bergerak di antara dua permukaan diam. Kondisi ini membuat tekanan statis di kolong mobil menjadi jauh lebih rendah daripada kondisi di jalanan atau dengan kata lain terjadi ground effect berlebihan. Tentu saja ini menjadi masalah karena membuat simulasi, lagi-lagi, tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Untuk mengatasinya, para insinyur aerodinamika membuat lantai yang bisa bergerak sesuai dengan laju angin. Lantai ini terbuat dari karet dan menyerupai belt conveyor. Kendala yang timbul adalah kemampuan bergerak lantai yang terbatas dan sulit menyamai laju angin di dalam terowongan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah rolling resistance atau hambatan putar roda akan membuat pengukuran terhadap dragforce menjadi kurang akurat. Namun demikian, semua kendala ini bisa diminimalkan dengan bantuan modifikasi terhadap hasil-hasil tes dengan beberapa persamaan empiris dari hasil pengujian lain, digabungkan dengan analisis aerodinamika oleh program komputer berbasis komputasi dinamika fluida.
Tim F1 yang baru-baru ini membangun fasilitas terowongan angin baru adalah Sauber dan Honda. Terowongan angin mereka tergolong canggih, berjenis close circuit dengan fasilitas rolling platform (lantai berjalan) yang kecepatan gerak lantainya bisa menyamai kecepatan angin maksimum sebesar 300 km/j. Luas penampang pada area tes adalah 15 m2 sehingga memungkinkan mengetes model mobil dengan skala 1:1. Yang istimewa dari terowongan angin Sauber ini adalah area tesnya relatif lebih panjang daripada terowongan angin lainnya sehingga memungkinkan melakukan tes terhadap 2 model berskala 60% sekaligus yang diletakkan dalam posisi depan-belakang. Posisi pengetesan seperti ini berguna untuk menguji efek turbulensi angin yang dialami oleh mobil di belakang akibat gangguan aliran angin dari mobil di depannya