UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM UNYULUNYU.BLOGSPOT.COM
Selamat Datang Sohib
>
Tampilkan postingan dengan label Spesifikasi Mobil F 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spesifikasi Mobil F 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 November 2012

Berkawan Dengan Angin



Dengan tenaga mesin yang lebih dari 700 BHP (Brake Horse Power) dan bobot mobil yang tak lebih dari 700 kg, mobil balap F1 rawan sekali terhadap skid atau kondisi dimana roda berputar lebih cepat dari semestinya. Kondisi ini harus dihindari karena, tentu saja, mengurangi kecepatan berakselerasi dan dapat mengakibatkan sliding yang sangat berbahaya.

Untuk mengatasinya, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama adalah dengan meningkatkan koefisien gesek atau grip ban. Ini bisa dilakukan dengan menambah lebar ban dan/atau meningkatkan kualitas kompon ban. Kedua adalah dengan menambah gaya normal aspal terhadap ban. Gaya ini identik dengan jumlah gaya dari ban yang menekan aspal dimana jumlah gaya itu adalah berasal dari berat mobil dan gaya tekan ke bawah (downforce).

Dengan keterbatasan yang diberikan oleh FIA lewat regulasinya, menambah lebar ban jelas tidak mungkin dilakukan. Menambah bobot mobil juga akan merugikan karena justru mengurangi kemampuan mobil untuk berakselerasi dan membuat gaya sentrifugal saat berbelok jadi makin besar sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan. Cara yang paling populer adalah dengan memberikan downforce yang cukup pada mobil sehingga ban dapat selalu “melekat” di atas aspal. Sayangnya penambahan downforce ini selalu disertai dengan efek-efek negatif lainnya berupa peningkatan dragforce (hambatan angin terhadap mobil), efek turbulensi, stall dan lain-lain. Secara sederhana, efek akibat aliran udara terhadap mobil dan komponennya di atas dinamakan efek aerodinamika.

Pada era balapan modern dewasa ini, efek aerodinamika hampir sama pentingnya, jika tidak bisa dikatakan lebih penting, dengan faktor power mesin. Sebagai bukti, kita bisa bandingkan performa Tim Ferrari dan Tim Sauber di musim 2004 yang jauh berbeda walau mereka menggunakan mesin dan ban yang sama.

Efek aerodinamika ini bersifat kompleks dan multi faktor sehingga amat sulit dihitung dan dianalisis di atas kertas. Untuk menganalisisnya, para insinyur aerodinamika mendesain fasilitas pengujian yang dinamakan terowongan angin (wind tunnel). Di terowongan angin ini, angin dihembuskan oleh kipas (fan) berdiameter besar dengan kecepatan tertentu untuk mensimulasikan kondisi dimana mobil menghantam angin saat balapan.

Wind Tunnel Milik SauberPada terowongan angin, mobil diletakkan secara statis dengan beberapa titik tumpuan. Titik tumpuan biasanya ada di keempat roda dan satu titik di atas mobil. Sensor gaya diletakkan di semua titik tumpuan mobil dan mengukur besarnya gaya di dua arah, arah longitudinal (searah arah angin) untuk mengukur hambatan angin terhadap mobil (dragforce) dan gaya arah vertikal atas-bawah untuk menghitung gaya tekan ke bawah atau gaya angkat (downforce atau liftforce).

Secara umum, terowongan angin dibedakan atas 2 jenis, yaitu terbuka dan tertutup. Seperti namanya, terowongan terbuka mempunyai sirkuit yang terbuka di bagian depan dan belakangnya. Karena itu angin yang digunakan untuk tes berasal dari udara luar yang terisap masuk ke dalam terowongan dan kemudian akan dibuang kembali ke udara luar di bagian belakang terowongan. Terowongan jenis ini punya kelemahan yang amat mengganggu yaitu sangat tergantung pada kondisi udara luar seperti kecepatan angin, serta temperatur, dan tekanan udara.

Terowongan jenis kedua adalah jenis tertutup. Terowongan ini mempunyai keunggulan yang sangat penting dibanding jenis pertama yaitu tenaga untuk menggerakkan kipasnya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab pada sirkuit tertutup tentu saja angin akan terus bergerak berputar sepanjang terowongan. Dengan demikian, fungsi kipas hanya untuk melawan kerugian tekanan angin akibat gesekannya dengan dinding-dinding terowongan saja.

Karena biaya investasi yang murah namun biaya operasi yang tinggi, terowongan angin jenis terbuka biasanya berdimensi kecil dan dimiliki oleh lembaga-lembaga non komersial seperti laboratorium penelitian dan perguruan tinggi. Sedangkan terowongan angin jenis kedua banyak dimiliki oleh pabrik-pabrik mobil terkemuka dan tim-tim balap mobil.

Aliran angin di dalam terowongan angin harus dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya. Simulasi ini tidak mudah karena banyak kendala yang menuntut banyak modifikasi dan inovasi.

Masalah pertama adalah ukuran model mobil yang akan dites. Para insinyur aerodinamika menginginkan ukuran model yang sama persis dengan mobil aslinya dengan alasan lebih mudah membuat detail-detail kecil seperti lubang radiator, lekukan sayap dan sebagainya. Selain itu aliran turbulensi udara yang dihasilkan model yang seukuran dengan mobil asli akan semakin mendekati turbulensi udara yang sebenarnya akan terjadi. Turbulensi ini adalah kondisi yang amat tidak disukai oleh para insinyur aerodinamika karena memberikan efek negatif terhadap efek aerodinamika secara keseluruhan. Namun demikian, aliran turbulen amat sulit untuk dihindari. Karena itu aliran turbulen ini harus disimulasikan semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya.

Namun demikian, membuat ukuran model sama dengan mobil aslinya bukanlah pilihan yang paling ideal. Semakin besar ukuran model, semakin dekat pula permukaan model dengan dinding terowongan angin. Kondisi ini membuat semacam penyempitan jalannya angin di sekitar model sehingga membuat aliran angin lebih cepat lajunya. Tentu saja kondisi ini tidak diinginkan karena membuat simulasi menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di jalanan. Dengan pertimbangan ini, semakin kecil model, akan semakin baik, karena pola aliran angin di sekitar model menjadi lebih mirip kondisi di jalanan. Sayangnya, ukuran model ini berbanding terbalik dengan laju udara yang harus dihasilkan oleh kipas. Untuk model dengan ukuran 1/5 dari mobil aslinya, laju udara simulasi harus dibuat 5 kali lebih cepat daripada kondisi sebenarnya agar pola turbulensi yang terbentuk mirip dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian, berarti semakin kecil model, biaya operasi tes menjadi semakin besar karena kipas harus berputar lebih cepat. Dengan kedala-kendala di atas, para insinyur aerodinamika harus benar-benar memikirkan ukuran model yang paling ideal sesuai dengan fasilitas dan kemampuan terowongan angin yang dimilkinya.

Masalah kedua adalah simulasi laju udara di kolong mobil. Pada kondisi di jalanan, udara di kolong mobil dan aspal dalam kondisi diam sedangkan mobil dalam kondisi melaju. Maka udara di kolong mobil berada di antara dua permukaan, satu permukaan diam dan satu lagi permukaan yang bergerak. Pada terowongan angin, udara di kolong mobil bergerak di antara dua permukaan diam. Kondisi ini membuat tekanan statis di kolong mobil menjadi jauh lebih rendah daripada kondisi di jalanan atau dengan kata lain terjadi ground effect berlebihan. Tentu saja ini menjadi masalah karena membuat simulasi, lagi-lagi, tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Untuk mengatasinya, para insinyur aerodinamika membuat lantai yang bisa bergerak sesuai dengan laju angin. Lantai ini terbuat dari karet dan menyerupai belt conveyor. Kendala yang timbul adalah kemampuan bergerak lantai yang terbatas dan sulit menyamai laju angin di dalam terowongan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah rolling resistance atau hambatan putar roda akan membuat pengukuran terhadap dragforce menjadi kurang akurat. Namun demikian, semua kendala ini bisa diminimalkan dengan bantuan modifikasi terhadap hasil-hasil tes dengan beberapa persamaan empiris dari hasil pengujian lain, digabungkan dengan analisis aerodinamika oleh program komputer berbasis komputasi dinamika fluida.

Tim F1 yang baru-baru ini membangun fasilitas terowongan angin baru adalah Sauber dan Honda. Terowongan angin mereka tergolong canggih, berjenis close circuit dengan fasilitas rolling platform (lantai berjalan) yang kecepatan gerak lantainya bisa menyamai kecepatan angin maksimum sebesar 300 km/j. Luas penampang pada area tes adalah 15 m2 sehingga memungkinkan mengetes model mobil dengan skala 1:1. Yang istimewa dari terowongan angin Sauber ini adalah area tesnya relatif lebih panjang daripada terowongan angin lainnya sehingga memungkinkan melakukan tes terhadap 2 model berskala 60% sekaligus yang diletakkan dalam posisi depan-belakang. Posisi pengetesan seperti ini berguna untuk menguji efek turbulensi angin yang dialami oleh mobil di belakang akibat gangguan aliran angin dari mobil di depannya

Dengan tenaga mesin yang lebih dari 700 BHP (Brake Horse Power) dan bobot mobil yang tak lebih dari 700 kg, mobil balap F1 rawan sekali terhadap skid atau kondisi dimana roda berputar lebih cepat dari semestinya. Kondisi ini harus dihindari karena, tentu saja, mengurangi kecepatan berakselerasi dan dapat mengakibatkan sliding yang sangat berbahaya.

Untuk mengatasinya, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama adalah dengan meningkatkan koefisien gesek atau grip ban. Ini bisa dilakukan dengan menambah lebar ban dan/atau meningkatkan kualitas kompon ban. Kedua adalah dengan menambah gaya normal aspal terhadap ban. Gaya ini identik dengan jumlah gaya dari ban yang menekan aspal dimana jumlah gaya itu adalah berasal dari berat mobil dan gaya tekan ke bawah (downforce).

Dengan keterbatasan yang diberikan oleh FIA lewat regulasinya, menambah lebar ban jelas tidak mungkin dilakukan. Menambah bobot mobil juga akan merugikan karena justru mengurangi kemampuan mobil untuk berakselerasi dan membuat gaya sentrifugal saat berbelok jadi makin besar sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan. Cara yang paling populer adalah dengan memberikan downforce yang cukup pada mobil sehingga ban dapat selalu “melekat” di atas aspal. Sayangnya penambahan downforce ini selalu disertai dengan efek-efek negatif lainnya berupa peningkatan dragforce (hambatan angin terhadap mobil), efek turbulensi, stall dan lain-lain. Secara sederhana, efek akibat aliran udara terhadap mobil dan komponennya di atas dinamakan efek aerodinamika.

Pada era balapan modern dewasa ini, efek aerodinamika hampir sama pentingnya, jika tidak bisa dikatakan lebih penting, dengan faktor power mesin. Sebagai bukti, kita bisa bandingkan performa Tim Ferrari dan Tim Sauber di musim 2004 yang jauh berbeda walau mereka menggunakan mesin dan ban yang sama.

Efek aerodinamika ini bersifat kompleks dan multi faktor sehingga amat sulit dihitung dan dianalisis di atas kertas. Untuk menganalisisnya, para insinyur aerodinamika mendesain fasilitas pengujian yang dinamakan terowongan angin (wind tunnel). Di terowongan angin ini, angin dihembuskan oleh kipas (fan) berdiameter besar dengan kecepatan tertentu untuk mensimulasikan kondisi dimana mobil menghantam angin saat balapan.

Wind Tunnel Milik SauberPada terowongan angin, mobil diletakkan secara statis dengan beberapa titik tumpuan. Titik tumpuan biasanya ada di keempat roda dan satu titik di atas mobil. Sensor gaya diletakkan di semua titik tumpuan mobil dan mengukur besarnya gaya di dua arah, arah longitudinal (searah arah angin) untuk mengukur hambatan angin terhadap mobil (dragforce) dan gaya arah vertikal atas-bawah untuk menghitung gaya tekan ke bawah atau gaya angkat (downforce atau liftforce).

Secara umum, terowongan angin dibedakan atas 2 jenis, yaitu terbuka dan tertutup. Seperti namanya, terowongan terbuka mempunyai sirkuit yang terbuka di bagian depan dan belakangnya. Karena itu angin yang digunakan untuk tes berasal dari udara luar yang terisap masuk ke dalam terowongan dan kemudian akan dibuang kembali ke udara luar di bagian belakang terowongan. Terowongan jenis ini punya kelemahan yang amat mengganggu yaitu sangat tergantung pada kondisi udara luar seperti kecepatan angin, serta temperatur, dan tekanan udara.

Terowongan jenis kedua adalah jenis tertutup. Terowongan ini mempunyai keunggulan yang sangat penting dibanding jenis pertama yaitu tenaga untuk menggerakkan kipasnya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab pada sirkuit tertutup tentu saja angin akan terus bergerak berputar sepanjang terowongan. Dengan demikian, fungsi kipas hanya untuk melawan kerugian tekanan angin akibat gesekannya dengan dinding-dinding terowongan saja.

Karena biaya investasi yang murah namun biaya operasi yang tinggi, terowongan angin jenis terbuka biasanya berdimensi kecil dan dimiliki oleh lembaga-lembaga non komersial seperti laboratorium penelitian dan perguruan tinggi. Sedangkan terowongan angin jenis kedua banyak dimiliki oleh pabrik-pabrik mobil terkemuka dan tim-tim balap mobil.

Aliran angin di dalam terowongan angin harus dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya. Simulasi ini tidak mudah karena banyak kendala yang menuntut banyak modifikasi dan inovasi.

Masalah pertama adalah ukuran model mobil yang akan dites. Para insinyur aerodinamika menginginkan ukuran model yang sama persis dengan mobil aslinya dengan alasan lebih mudah membuat detail-detail kecil seperti lubang radiator, lekukan sayap dan sebagainya. Selain itu aliran turbulensi udara yang dihasilkan model yang seukuran dengan mobil asli akan semakin mendekati turbulensi udara yang sebenarnya akan terjadi. Turbulensi ini adalah kondisi yang amat tidak disukai oleh para insinyur aerodinamika karena memberikan efek negatif terhadap efek aerodinamika secara keseluruhan. Namun demikian, aliran turbulen amat sulit untuk dihindari. Karena itu aliran turbulen ini harus disimulasikan semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya.

Namun demikian, membuat ukuran model sama dengan mobil aslinya bukanlah pilihan yang paling ideal. Semakin besar ukuran model, semakin dekat pula permukaan model dengan dinding terowongan angin. Kondisi ini membuat semacam penyempitan jalannya angin di sekitar model sehingga membuat aliran angin lebih cepat lajunya. Tentu saja kondisi ini tidak diinginkan karena membuat simulasi menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di jalanan. Dengan pertimbangan ini, semakin kecil model, akan semakin baik, karena pola aliran angin di sekitar model menjadi lebih mirip kondisi di jalanan. Sayangnya, ukuran model ini berbanding terbalik dengan laju udara yang harus dihasilkan oleh kipas. Untuk model dengan ukuran 1/5 dari mobil aslinya, laju udara simulasi harus dibuat 5 kali lebih cepat daripada kondisi sebenarnya agar pola turbulensi yang terbentuk mirip dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian, berarti semakin kecil model, biaya operasi tes menjadi semakin besar karena kipas harus berputar lebih cepat. Dengan kedala-kendala di atas, para insinyur aerodinamika harus benar-benar memikirkan ukuran model yang paling ideal sesuai dengan fasilitas dan kemampuan terowongan angin yang dimilkinya.

Masalah kedua adalah simulasi laju udara di kolong mobil. Pada kondisi di jalanan, udara di kolong mobil dan aspal dalam kondisi diam sedangkan mobil dalam kondisi melaju. Maka udara di kolong mobil berada di antara dua permukaan, satu permukaan diam dan satu lagi permukaan yang bergerak. Pada terowongan angin, udara di kolong mobil bergerak di antara dua permukaan diam. Kondisi ini membuat tekanan statis di kolong mobil menjadi jauh lebih rendah daripada kondisi di jalanan atau dengan kata lain terjadi ground effect berlebihan. Tentu saja ini menjadi masalah karena membuat simulasi, lagi-lagi, tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Untuk mengatasinya, para insinyur aerodinamika membuat lantai yang bisa bergerak sesuai dengan laju angin. Lantai ini terbuat dari karet dan menyerupai belt conveyor. Kendala yang timbul adalah kemampuan bergerak lantai yang terbatas dan sulit menyamai laju angin di dalam terowongan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah rolling resistance atau hambatan putar roda akan membuat pengukuran terhadap dragforce menjadi kurang akurat. Namun demikian, semua kendala ini bisa diminimalkan dengan bantuan modifikasi terhadap hasil-hasil tes dengan beberapa persamaan empiris dari hasil pengujian lain, digabungkan dengan analisis aerodinamika oleh program komputer berbasis komputasi dinamika fluida.

Tim F1 yang baru-baru ini membangun fasilitas terowongan angin baru adalah Sauber dan Honda. Terowongan angin mereka tergolong canggih, berjenis close circuit dengan fasilitas rolling platform (lantai berjalan) yang kecepatan gerak lantainya bisa menyamai kecepatan angin maksimum sebesar 300 km/j. Luas penampang pada area tes adalah 15 m2 sehingga memungkinkan mengetes model mobil dengan skala 1:1. Yang istimewa dari terowongan angin Sauber ini adalah area tesnya relatif lebih panjang daripada terowongan angin lainnya sehingga memungkinkan melakukan tes terhadap 2 model berskala 60% sekaligus yang diletakkan dalam posisi depan-belakang. Posisi pengetesan seperti ini berguna untuk menguji efek turbulensi angin yang dialami oleh mobil di belakang akibat gangguan aliran angin dari mobil di depannya

Gimana Ya Cara Membandingkan Kehebatan Mobil Balap?


Gimana Ya Cara Membandingkan Kehebatan Mobil Balap?
Mobil balap yang hebat harus punya engine yang powerfull, ban balap dengan grip yang baik, dan driveability yang juga baik sehingga mampu bermanuver dengan cepat. Beberapa faktor lain juga harus diperhatikan, yaitu distribusi berat yang tepat, distribusi downforce yang sesuai dengan grip yang tersedia antara roda depan dan belakang. Jika ingin membandingkan satu mobil balap dengan mobil yang lainnya, semua parameter di atas harus dinilai dan dibandingkan. Perbandingan ini tentu tidak mudah karena semua parameter itu mempunyai bobot yang berbeda. Namun ada satu ukuran yang dapat mewakili semua parameter di atas, yaitu diagram ggv. Apa itu Diagram ggv?

Sebelumnya, perlu dipahami dulu definisi kecepatan dan percepatan. Kecepatan didefinisikan sebagai besarnya perubahan posisi sesuatu pada setiap satuan waktu. Sedangkan percepatan adalah perubahan kecepatan setiap satuan waktu. Karena kecepatan adalah termasuk besaran vektor yang memiliki nilai dan arah, maka percepatan ada dua jenis. Jenis pertama adalah percepatan akibat adanya perubahan nilai kecepatan, yaitu bisa berupa akselerasi ataupun deselerasi. Percepatan ini disebut percepatan longitudinal. Jenis kedua adalah percepatan akibat perubahan arah kecepatan yang dinamakan percepatan lateral dan diakibatkan oleh gaya sentrifugal saat mobil berbelok.

Dalam dunia balap, percepatan sering dinyatakan dalam satuan “g”, yaitu percepatan akibat gravitasi bumi yang besarnya 9.8 m/s2. Perbandingan dengan gravitasi ini memudahkan kita dalam membayangkan percepatan yang terjadi. Sebagai contoh, mobil yang berakselerasi dengan percepatan sampai 1g mempunyai percepatan yang sama dengan percepatan benda yang jatuh akibat gravitasi bumi. Sedangkan percepatan lateral sebesar 1g berarti keempat roda mobil akan menahan beban sebesar 1 kali bobot total mobil ke arah samping berlawanan dengan arah belokan, sementara pembalap di dalamnya juga menahan beban sebesar 1 kali bobot tubuhnya sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan pembalap F1 yang mobilnya mampu berbelok dengan percepatan lateral lebih dari 4g dan bahkan berdeselarasi hampir 5g!

Percepatan lateral terjadi akibat gaya sentrifugal saat mobil berubah arah, sehingga besarnya pun bergantung pada gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal yang bekerja pada sesuatu yang bergerak tidak di garis lurus adalah massa benda dikalikan dengan kuadrat kecepatan dan dibagi dengan jari-jari kurva belokan atau secara notasi biasa dinyatakan dalam:

Fcentrifugal = m (V^2/R)

m adalah massa benda, V adalah kecepatan benda, dan R adalah jari-jari kurva belokan. Karena percepatan adalah gaya dibagi massa benda, maka percepatan lateral bisa dinyatakan sebagai (V2/R). Artinya, percepatan lateral akan meningkat jika kecepatan mobil makin cepat (dengan kenaikan yang kuadratis) dan/atau mobil berbelok makin tajam (R makin kecil).

Dalam hal performa, hanya ada empat kemampuan dasar yang menjadi ukuran kehebatan suatu mobil balap, yaitu:
• Kecepatan maksimum yang mampu dicapai
• Kemampuan berakselerasi
• Kemampuan berdeselerasi
• Kemampuan berbelok dengan cepat dan tajam
Semua teknologi yang terlibat di dalam mobil F1 bertujuan untuk meningkatkan empat kemampuan di atas. Karena itu, ukuran atas performa mobil balap hanya diwakili oleh empat faktor tersebut.

Jika percepatan longitudinal dan lateral pada kecepatan tertentu diplot dalam satu bidang datar, maka diagram g-g seperti di samping akan terbentuk. Sumbu vertikal adalah percepatan longitudinal dan percepatan lateral di sumbu horizontal. Garis pada diagram itu adalah batas kemampuan mobil sehingga kondisi percepatan mobil saat balapan akan selalu berada di dalam kurva g-g itu. Mobil tidak boleh dioperasikan di luar kurva itu, jika tidak ingin melintir ke luar lintasan. Namun demikian, pembalap dituntut untuk selalu malajukan mobilnya pada garis batas diagram itu agar kemampuan mobil dapat dimanfaatkan secara maksimal. Satu kotak mewakili 1g, sehingga nampak bahwa kemampuan berdeselerasi dan percepatan lateral (ke kiri dan ke kanan) mobil F1 bisa lebih dari 4g!

Untuk mobil-mobil balap modern yang menghasilkan downforce yang cukup besar, bentuk diagram ini bisa sedikit berubah-ubah. Jika setingan sudut sayap ditingkatkan sehingga downforce meningkat, maka kemampuan pengereman dan percepatan lateral akan sedikit meningkat sementara kemampuan akselerasi sedikit menurun akibat terbatasnya kemampuan mesin untuk mengatasi meningkatnya dragforce.

Jika diagram g-g itu diplot pada tiap tingkat kecepatan, maka terbentuklah diagram 3 dimensi g-g-V diagram seperti terlihat pada gambar di samping, dengan sumbu tegak mewakili kecepatan (V).

Gambar yang terakhir menampilkan perbandingan antara diagram g-g-V antara mobil-mobil balap F1 yang pernah diciptakan. Mobil Mercedes W196 adalah mobil hebat milik Fangio di tahun 1955 dan merupakan mobil generasi terakhir pada era mesin yang ditempatkan di depan pembalap. Tampak performa Mercedes W196 bermesin 2.5L 8 silinder dengan tenaga 280 BHP masih sangat jelek (walaupun hebat di jamannya). Kemampuan akselerasinya kurang dari 0.5g, dan pengereman hanya 0.95g karena teknologi disc brake belum digunakan. Maksimum percepatan lateral belum mencapai 1g karena pemanfaatan downforce yang belum optimum (mobil ini belum memanfaatkan sayap untuk memberikan downforce), serta grip ban yang masih sangat buruk karena lebar bannya hanya 7 inch. Mobil Lotus Ford T72 di tahun 1971 sudah jauh lebih baik karena telah memanfaatkan sayap-sayap dan ban lebar (sampai 20 inch) untuk memaksimalkan grip. Percepatan lateral Lotus T72 mampu mencapai 2g.

Revolusi besar terjadi di awal tahun 80-an berkat pemanfaatan ground effect dan side skirt serta penemuan material CFRP (Carbon Fibre Reinforced Plastic) untuk material bodi mobil dan komponen lainnya. Di tahun 1983 Lotus T95 bermesin Renault 1500cc turbocharger mampu berpercepatan lateral hampir 4g!

Di tahun 1984 side skirt dilarang dan pada 1989 turbocharger pun dilarang. Namun performa mobil F1 terus meningkat dengan berkembangnya ground effect karena fungsi diffuser makin optimal. Puncak performa mobil ada pada tahun 1994 sebelum tragedi tewasnya Ayrton Senna di Imola. “Mobil super” Williams FW15 tahun 1993 bahkan mempunyai kemampuan pengereman sebesar 5g dan percepatan lateral 4.5g! Performa luarbiasa mobil ini sangat dipengaruhi oleh teknologi suspensi aktif yang amat beasar peranannya dalam memaksimalkan grip ban.

Setelah Senna meninggal, FIA membatasi banyak hal untuk mengurangi downforce agar kecepatan dan percepatan mobil berkurang. Namun demikian, perkembangan teknologi otomotif terus melaju pesat. Mobil Ferrari F300 di tahun 1998 bahkan masih mampu menyamai performa Williams FW15 walaupun mesinnya lebih kecil 500cc dan downforce sudah banyak berkurang

Traction Control


Traction Control
Vettel without Traction Control
Musim 2008 ini merupakan era F1 kembali tanpa Traction Control. Apa sih traction Control itu?

Traction Control (TC) berfungsi mencegah wheelspin pada roda belakang mobil, yaitu kondisi dimana roda belakang berputar lebih cepat dari semestinya. Wheelspin terjadi bila power yang diterima roda belakang melebihi kemampuan ban dalam memberikan grip. Grip dari ban merupakan fungsi dari sifat karet ban serta tekanan ke bawah yang diterima ban yang berasal dari downforce dan bobot mobil. Mobil F1 dengan bobot hanya sekitar 600kg dan power lebih dari 700 BHP tentu sangat rawan terhadap wheelspin. Bandingkan dengan mobil di jalan raya yang yang bobotnya sekitar 1.5 ton dan dengan power yang tak lebih dari 200 BHP.

Seperti layaknya fungsi kontrol lainnya, TC bekerja dalam tiga tahap, yaitu sensing (melakukan pengukuran), processing (melakukan proses perhitungan data dan analysis), serta actuating (melakukan aksi pengaturan). Sensing dilakukan oleh sensor-sensor yang mengukur putaran roda belakang, roda depan, dan laju mobil. Processing dilakukan oleh komputer mobil yang terintegrasi dalam sistem ECU (Electronic Control Unit) dan selanjutnya proses pengaturan dilakukan oleh beberapa actuator yang melakukan beberapa aksi untuk mengurangi power engine yang terhantar ke roda belakang.

Walaupun ada tiga tahapan, seluruh aktifitas system TC itu dilakukan dalam hitungan miliseconds dan kecepatan itulah merupakan keuntungan sebenarnya dari system TC karena sebenarnya semua pembalap F1 dapat melakukan fungsi TC itu sendiri. Pembalap mobil pada level F1 sudah pasti mempunyai kemampuan dalam merasakan wheelspin yang terjadi pada roda mobilnya. Bedanya, fungsi yang kontrol traksi yang dilakukan pembalap, tentu saja, kalah cepat dan kalah akurat dibanding TC yang dilakukan oleh sistem komputer mobil.

Walaupun mempunyai prinsip kerja yang mirip, TC yang dikembangkan masing-masing tim bisa berbeda dalam banyak hal. Pertama, perbedaan bisa terjadi pada tahapan sensing. Beberapa sistem TC melakukan perbandingan antara putaran roda depan dan roda belakang dalam hal menentukan apakah wheelspin telah terjadi. Beberapa system lainnya hanya mengukur apakah putaran roda belakang berakselerasi secara normal atau tidak (dengan cara mengukur percepatan putaran roda).

Dalam hal processing dan analisis data, setiap tim mengembangkan algoritma perhitungan data dan analisis masing-masing sehingga perbedaan juga dapat terjadi. Tahapan actuating merupakan tahapan yang paling banyak memiliki perbedaan diantara masing-masing tim. Ada beberapa system TC yang melakukan pengurangan power dengan cara menghentikan pengapian (ignition cutting) pada beberapa silinder secara sementara, dan ada beberapa system TC lainnya yang melakukan pengaturan laju bahan bakar pada beberapa silinder, pengaturan bukaan throttle (bukaan katup), atau melakukan kombinasi dari beberapa kemungkinan itu. Jika pembatasan power dilakukan dengan ignition cutting pada beberapa silinder, maka ledakan knalpot bisa terjadi karena ada bensin yang belum terbakar dan terbuang melewati knalpot yang tinggi temperaturnya.

Perbedaan bukan hanya terjadi pada bagaimana proses pengaturan traksi itu dilakukan, tetapi juga terjadi pada seberapa besar pengaturan itu dilakukan. Beberapa engineer pada tim F1 mengatakan bahwa wheelspin bukan merupakan hal yang benar-benar merugikan bagi mobil F1. Sedikit wheelspin di chicane dapat membantu pembalap menaklukan chicane itu secara lebih cepat. Sam Michael, Technical Director WilliamF1 mengatakan bahwa wheelspin dengan prosentase yang tepat dapat memangkas laptime. Untuk itu, team Williams melakukan simulasi mengenai setting pada TC sehingga didapat seting TC yang ideal bagi setiap sirkuit. Pada kenyataannya, sebenarnya pembalap pun bisa melakukan perubahan settingan TC setiap saat karena fasilitas itu terdapat pada gagang setir mereka. Biasanya pembalap melakukan perubahan setttingan TC ini seiring dengan berkurangnya bobot mobil akibat menipisnya bahan bakar.
Semua perbedaan system TC itu membuat performa TC yang dimiliki oleh team juga berbeda. Tim Renault di musim 2003 dan 2004 bisa dikatagorikan sebagai team yang mempunyai sistem TC yang paling baik. Kedua mobil mereka yang dikendarai Fernando Alonso dan Jarno Truli saat itu sangat perkasa dalam menaklukan tikungan dan saat start. Keunggulan saat start sebenarnya didapat dari keunggulan mereka dalam mengembangkan system Launch Control (LC). LC ini berbeda dengan TC dan telah dilarang sejak musim 2004 tetapi prinsipnya sebenarnya amat mirip dengan TC karena sama-sama mencegah (atau meminimalisasi) wheelspin.

Traction Control sebenarnya bukan teknologi baru dan sudah dipakai di mobil F1 pada dekade 80-an. Pada musim 1994 failitas TC sempat dilarang karena dianggap terlalu banyak memberikan bantuan pada pembalap saat mengengemudi. Namum di musim-musim setelah TC dilarang, banyak kecurigaan bahwa banyak team masih menggunakan TC secara ilegal. FIA mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kecurangan ini karena pengujian peralatan elektronik pada mobil amat sulit dilakukan mengingat tiap tim mempunyai algoritma berbeda dengan bahasa software yang juga berbeda. Setelah makin banyaknya kecurigaan bahwa TC tetap dipakai oleh beberapa tim walaupun tidak dapat dibuktikan, akhirnya di GP Spanyol 2001, FIA membolehkan kembali pemakaian TC.

FIA kembali melarang Traction Control ini di musim 2008 ini. Kali ini FIA merasa tidak akan ada masalah dalam pengawasan larangan ini karena pelarangan TC ini akan disertai dengan regulasi penyeragaman ECU. Semua ECU pada mobil akan disuplai oleh satu supplier dan FIA mempunyai full akses dalam memonitor ECU yang dipakai oleh semua tim.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa absen-nya TC di musim ini akan membuat mobil sedikit melambat. Namun hasil test justru membuktikan sebaliknya. Beberapa rekor laptime justru baru terpecahkan dengan mobil yang tanpa TC.

Lebih lambat atau tidak, rasanya F1 jadi lebih menarik tanpa TC.
Tidak sependapat?
Boleh saja, tetapi GP Aussie lalu rasanya cukup membuktikan hal itu